Sekolah Unggul dan Sisi Lain Masalah Pendidikan Nasional

Oleh: Afrianto Daud*

Pemikiran untuk membangun pendidikan bagi kelompok cerdas, kurang cerdas, dan tidak cerdas secara ekslusif adalah sebuah kemunduran besar dan tidak sejalan dengan hakikat pendidikan, esensi demokrasi, maupun realitas kehidupan. (Prof. Sunarya Kartadinata, 2004)

Saya ikut senang dan bangga membaca berita harian Padang Ekspres tanggal 3 Mei 2007 dengan judul MTsN dan SMA-1, Dua Sekolah Unggul Padang Panjang, Melahirkan Dua Ilmuwan Berkelas Internasional. Betapa tidak, di tengah keterpurukan prestasi dunia pendidikan di daerah ini, prestasi SMA 1 Padang Panjang (yang ditetapkan pemda Sumbar sebagai sekolah unggul provinsi) seakan menjadi ‘setetes air” di tengah hausnya kita akan sebuah prestasi. Apa yang kita lihat di SMA 1 Padang Panjang bisa menjadi pelipur lara jiwa para pecinta pendidikan yang mengimpikan daerah ini bisa bangkit dalam dunia pendidikan seperti sejarah masa lalu yang pernah membanggakan.

Bagi saya, yang paling membanggakan dari deretan prestasi sekolah ini adalah ketika mengetahui bahwa SMA ini tidak hanya berprestasi dalam bidang akademis an sich tapi juga dalam bidang kegamaan, terbukti dengan dilahirkannya ratusan orang hafidz quran dari sekolah ini. Sebuah prestasi luar biasa yang bahkan belum pernah saya dengar lahir dari madrasah yang notabene bergerak di bahwah binaan Departemen Agama sekalipun. Sekali lagi saya angkat topi dengan prestasi ini. Salut!


Namun dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan sisi lain dari pemikiran saya tentang berita kemaren. Tulisan ini ingin melihat prestasi SMA 1 Padang Panjang yang oleh pemda Sumbar ditetapkan sebagai sekolah unggul provinsi itu dari sudut pandang berbeda. Tanpa bermaksud menafikan deretan fakta kesuksesan itu, kecemerlangan SMA 1 Padang panjang ini menurut saya justru merefleksikan sisi lain permasalahan dunia pendidikan kita. Tepatnya, munculnya SMA 1 Padang Panjang yang stand out of the crowd (tampil beda sendiri di tengah keramaian) adalah cerminan bahwa dunia pendidikan kita masih belum bisa keluar dari permasalahan klasik, yaitu masalah kesenjangan mutu pendidikan nasional. Tidak hanya kesenjangan mutu pendidikan antar daerah, tapi juga kesenjangan mutu antar sekolah di sebuah daerah yang sama.

Sekolah Unggul dan Masalah Pemerataan Mutu Pendidikan
Sebagaimana dimanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak tanpa melihat kelas ekonomi dan kemampuan intelektualnya. Dengan kata lain, secara filosofis, legal, dan kemanusiaan, pendidikan adalah hak semua warga negara. Cakupannya mulai dari usia dini sampai orang dewasa, mulai dari yang imbesil sampai yang jenius. Mereka semua adalah warga negara, yang hidup dalam satu komunitas bersama.


Dalam kenyataan di masyarakat, tak ada pemisahan ini (masyarakat jenius dan ini masyarakat debil). Semua hidup bersama dalam sebuah masyarakat inklusif. Pendidikan harus merupakan model dari masyarakat yang hendak dibangun, dan implikasinya adalah bahwa pendidikan diarahkan untuk membangun kehidupan demokratis dan realistis dengan jalan membangun masyarakat pendidikan inklusif. Dengan demikian bisa dipahami bahwa adalah hak semua warga negara dan kewajiban negara memberikan jaminan kepada semua warganya untuk memperoleh akses yang relatif sama kepada pendidikan yang berkualitas.


Bahkan, dalam dalam konteks usaha pemerataan kesempatan belajar dengan fasilitas dan kualitas yang relatif sama, usaha pemerataan itu tidak hanya berhenti pada pemerataan kualitas antar sekolah, tapi adalah juga tanggung jawab negara memberikan fasilitas yang relatif sama kepada semua anak bangsa pada level individu. Mereka yang cacat fisik dam mental, misalnya, juga berhak dilayani pemerintah untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas ini. Bahkan di negara-negara maju, seperti Australia, pemerintah dalam satu sekolah menyediakan satu orang guru untuk setiap satu anak pengidap autis. Hal ini dilakukan pemerintah karena pemerintah menyadari semua anak, termasuk anak yang punya cacat mental sekalipun punya hak yang sama dengan anak yang lain.


Sampai di sini, kalau kita menyaksikan fenomena kebijakan sekolah unggul di negeri kita, masalahnya kemudian adalah pemerintah atau pemerintah daerah cendrung memberikan perhatian dan pengayoman berbeda (bahkan sangat berbeda) kepada sekolah unggul ini dibanding ke sekolah lain yang non unggulan (baca:tidak diunggulkan). Tidak jarang sebuah sekolah unggul dibiayai hampir sepuluh kali lipat dibandingkan dengan sekolah negeri lainnya. Ini tentu ironis, karena sesungguhnya dana bantuan yang biasanya diambil dari APBN atau APBD itu pada hakekatnya adalah dana yang berasal dari seluruh rakyat Indonesia. Sementara yang menikmatinya hanya sebagian kecil mereka yang ada di sekolah unggul itu.


Mudah dipahami kemudian bahwa multiplier effects dari kebijakan (yang belum tentu bijak ini) adalah akan berdampak pada terciptanya kesenjangan yang lebih parah antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Sebuah sekolah unggul seperti SMA 1 Padang Panjang akan stand out of the crowd dan sekolah non unggulan harus mengurut dada dengan ‘peruntungan’ mereka yang tak bisa keluar dari permasalahan lama, seperti kekurangan guru, kurangnya sarana belajar dan mengajar, dan minimnya anggaran.


Paradoks pemerataan kualitas pendidikan ini akan lebih terasa dan akan lebih menyedihkan apabila ternyata kebanyakan murid sekolah unggul ini berasal dari mereka yang berkelas ekonomi menengah ke atas. Maka yang terjadi kemudian adalah, yang pintar akan semakin pintar dan yang miskin akan semakin miskin (baca: dimiskinkan).

Perlu Definisi Ulang “Sekolah Unggul”
Sudah lama saya bertanya-tanya tentang sebutan ‘sekolah unggul’ ini. Secara de facto, biasanya memang para lulusan sekolah unggul ini relatif lebih baik dari segi nilai akademis dibanding lulusan sekolah “non-unggulan”. Hal ini bisa dilihat dari persentase kelulusan siswa pada Ujian Nasional yang rata-rata hampir 100 persen di sekolah unggul. Keberhasilan ini juga bisa dilihat dari besarnya persentase angka kelulusan siswa dari sekolah unggul di perguruan tinggi negeri, seperti diberitakan harian ini bahwa SMA 1 Padang Panjang, misalnya, berhasil meloloskan 86% lulusannya di perguruan tinggi negeri pada tahun 2006 (Padang Ekspres, 3 Mei 2007).


Masalahnya kemudian apakah keberhasilan sekolah unggul tersebut benar-benar keberhasilan yang sesungguhnya? Bukankah sebenarnya keberhasilan sekolah unggul dalam menciptakan lulusan yang lebih baik merupakan usaha yang relatif tidak begitu menantang? Dengan kata lain, keberhasilan itu tidaklah pure dari hasil kerja keras penyelenggara sekolah unggul. Kenapa? Karena biasanya sekolah unggul merekrut calon siswa yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Sehingga dengan input yang bagus, sekolah unggul diuntungkan dalam proses pembelajaran, apalagi kalau didukung dengan fasilitas yang lengkap.


Jika kita bandingkan dengan suasanan di sekolah “non-unggulan”, maka rasa keadilan kita akan tersentuh. Ada suasana yang jauh berbeda di sekolah “non-unggulan” tersebut. Mulai dari letak yang jauh dari pusat informasi, kekurangan guru mata pelajaran, fasilitas yang serba tidak lengkap, sampai pada input siswa yang berkategori “kelas kedua”. Dengan kondisi seperti itu, kalau kita mau jujur proses pembelajaran di sekolah “non-unggulan” itu jauh lebih menantang (untuk tidak mengatakan sulit). Yang membanggakan adalah, tidak jarang beberapa lulusan dari sekolah seperti ini bisa bersaing dengan lulusan sekolah unggul.


Pertanyaannya kemudian adalah, secara hakekat sekolah jenis mana sebenarnya yang berhak menyandang predikat ‘sekolah unggul’? Apakah sekolah unggul yang sekarang kita miliki seperti yang dijelaskan di atas atau sekolah non-unggulan dengan kondisi ‘apa-adanya’ namun mampu menghasilkan lulusan yang juga baik? Kalau kita mengacu kepada filosofi pendidikan yang menekankan adanya perubahan seseorang dari yang tidak baik menjadi baik, dari tidak tahu menjadi tahu setelah proses pembelajaran, maka nurani kita akan mengatakan bahwa yang berhak menyandang predikat ‘sekolah unggul’ seharusnya adalah sekolah yang dengan segala keterbatasannya mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Epilog
Ke depan saya pikir semestinya pemerintah perlu membuat terobosan-terobosan baru untuk menciptakan sekolah unggul dalam makna yang sesungguhnya. Sehingga prestasi luar biasa yang diukir (sebagian kecil) anak-anak kita di SMA 1 Padang Panjang, juga bisa dilakukan oleh jutaan anak-anak kita yang lain di negeri ini. Sekolah unggul harus dibedakan secara tegas dari sekolah untuk anak-anak unggul. Sekolah ungggul tidak terletak pada peserta didiknya yang unggul secara intelektual, melainkan justru terletak dalam sistem layanan dan manajemen yang memungkinkan semua anak, tanpa membedakan tingkat kecerdasan, ras, etnik, dapat belajar bersama dan belajar hidup bersama dalam situasi sekolah dan setiap anak berkembang sesuai dengan potensinya. Wallahu a’alam bissawab.

* Afrianto Daud adalah mahasiswa program Master of Education di Monash Univeristy Australia. Penulis bisa dihubungi di anto_pasisia[at]yahoo.com