Harapan Di Balik Sertifikasi Guru


Oleh: Afrianto Daud*
(Diterbitkan di harian Singgalang, Selasa 4 Oktober 2007)

Pelaksanaan sertifikasi pendidik telah lama menjadi pembicaraan banyak pihak setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Wacana itu semakin kencang terdengar ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang diantara isinya menegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, serta sertifikat pendidik.

Ketika ide sertifikasi pendidik dikomunikasikan ke publik, banyak kalangan merespon positif rencana program sertifikasi ini. Bagi para pendidik, sertifikasi ini disambut antusias karena sebagaimana dijanjikan pemerintah, sertifikasi bisa menjadi awal meningkatnya kesejahteraan mereka. Dengan demikian, sertifikasi ini bisa menjadi momentum yang baik bagi para pendidik kita untuk ‘memperbaiki nasib’ mereka. Bagi kelompok pemerhati pendidikan nasional, sertifikasi ini juga ditunggu, karena kalau dilaksanakan dengan benar, bisa menjadi starting point untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

Walaupun Peraturan Pemerintah (PP) sebagai payung hukum pelaksanaan program sertifikasi sebagaimana disebutkan pasal 11 ayat 4 Undang-Undang Guru dan Dosen sampai hari ini masih belum juga lahir, namun seperti yang dikatakan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Jalal, Mendiknas Bambang Sudibyo telah menandatangani Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan yang bakal menjadi landasan operasional pelaksanaan program sertifikasi ini (Kompas, 11/06/2007). Dengan adanya permendiknas ini, pemerintah sepertinya yakin bahwa program sertifikasi ini sudah bisa terealisir mulai tahun 2007 ini.

Sebagai pelaksanaannya, saat ini Departemen Pendidikan Nasional melalui setiap Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota telah mulai melakukan pemanggilan dan orientasi para guru yang termasuk dalam kuota 200 ribu orang guru yang akan mengikuti program sertifikasi tahap pertama pada tahun ini. Selanjutnya secara bertahap pemerintah akan menyelesaikan proses sertifikasi 2.7 juta guru negeri ini sampai 10 tahun mendatang.

Sistim Penilaian Portofolio
Mengacu pada Permendiknas No. 18 Tahun 2007 di atas, teknis pelaksanaan program sertifikasi ini akhirnya disepakati dilakukan dengan sistem penilaian portofolio. Dalam konteks program sertifikasi, portofolio adalah kumpulan bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai seorang guru dalam waktu tertentu. Dengan demikian, setiap guru yang akan mengikuti program sertifikasi diwajibkan mengumpulkan semua dokumen yang dianggap bisa memberikan informasi akurat tentang berbagai pengalaman, karya, dan prestasi dalam perjalanan karirnya sebagai guru.

Menurut panduan penyusunan portofolio yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional (2007), komponen penilaian portofolio ini meliputi sepuluh aspek penting: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiyah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dalam bidang pendidikan.

Dalam penilaiannya, tim uji sertifikasi guru telah menetapkan bobot skor setiap komponen yang akan dinilai. Misalnya untuk poin kualifikasi akademik, bagi peserta sertifikasi (guru) yang telah menamatkan pendikan jenjang S1, S2, dan S3 pada bidang pendidikan yang relevan dengan tugas mengajarnya, sang kandidat akan memperoleh skor maksimal untuk komponen ini sebesar 525. Kemudian, bagi peserta yang telah memiliki pengalaman mengajar lebih 25 tahun, akan memperoleh skor 160. Komponen lainnya juga sudah ditetapkan aturan jumlah skornya. Diperkirakan total skor maksimal untuk semua komponen yang dinilai adalah sebesar 1500. Sementara untuk bisa lolos program sertifikasi ini, seorang guru harus memiliko skor minimal 850 atau sekitar 57% dari perkiraan skor maksimal.

Efek Positif Penilaian Portofolio
Membaca poin-poin dalam panduan penyusunan portofolio ini, saya berkeyakinan bahwa program ini akan berdampak sangat baik dalam rangka meningkatkan professionalisme para pendidik kita. Betapa tidak, sistem penilaian ini dengan sendirinya akan medorong dan memotivasi para pendidik kita untuk bekerja dan berkarya dengan lebih maksimal. Sistem penilaian ini, mau tidak mau, akan memacu para guru untuk memperilihatkan tampilan terbaiknya dalam proses belajar menajar. Kalau tidak, mereka tentu tak bakalan bisa menikmati peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah berupa tunjangan profesi satu kali besar gaji pokok sebagaimana disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) dan (2) UU 14/2005.

Walaupun, menurut saya, ada beberapa poin yang bisa dikritisi pada sebagian (kecil) aspek yang dinilai dalam portofolio ini, misalnya dalam hal pengalaman mengikuti pendidikan dan latihan. Poin ini dalam batas-batas tertentu barangkali bisa dianggap ‘kurang adil’ untuk para guru yang mengajar di daerah (terpencil) yang mungkin saja tak cukup banyak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan dibanding dengan mereka yang mengajar di daerah urban. Bukan karena mereka tak punya kemauan, tapi lebih karena sangat jarang mereka mendapat ‘jatah’ untuk mengikuti pendidikan dan latihan ini. Namun, terlepas dari semua itu, komponen yang dinilai dalam sistem portofolio ini, menurut saya, sudah cukup representatif untuk menilai kompotensi seorang pendidik.

Sekali lagi, dengan memahami proses dan format penilaian portofilio ini, hampir bisa dipastikan bahwa para guru bakal berkerja maksimal agar bisa lolos uji sertifikasi ini. Ketika para pendidik itu bekerja keras meraih nilai maksimal, pada saat yang sama tentu mereka sedang berusaha meningkatkan profesionalisme mereka.

Aspek pengembangan profesi yang diantaranya menilai karya tulis dan hasil penelitian yang dilakukan seorang guru sepanjang karirnya, misalnya, akan memacu para guru kita untuk mulai berfikir dan berkarya nyata dalam membuat tulisan ilmiah. Harus diakui, salah satu permasalahan terbesar kita selama ini adalah bahwa mayoritas para pendidik kita di tingkat pendidikan dasar dan menengah tidak terbiasa melakukan penelitian dan membuat karya ilmiyah. Kebanyakan pendidik kita, karena berbagai alasan, masih sangat jauh dengan dunia penelitian. Padahal, seorang guru seharusnya terbiasa untuk menulis dan melakukan penelitian untuk mengembangkan profesi keguruan mereka.

Poin penilaian prestasi yang juga cukup mendapatkan porsi penilaian cukup besar diyakini juga akan berpengaruh positif dalam memotivasi para guru kita untuk berprestasi. Para pendidik kita akan tersemangati untuk melakukan penemuan, mengikuti berbagai perlombaan, berdedikasi, dan berkarya di lingkungan sekolahnya. Dengan demikian, komponen ini pada gilirannya akan membuat guru kita beralih dari paradigma menjadi guru ‘apa adanya’ menjadi guru yang memiliki ‘nilai lebih’ dan professional.

Pendeknya sistem penilaian portofolio pada program sertifikasi guru ini diyakini akan memacu guru kita secara perlahan tapi pasti untuk meningkatkan professionalisme mereka sebagai pendidik. Dan ketika guru-guru kita sudah menjadi pendidik yang professional, pada saat itulah kita bisa mengatakan bahwa mimpi perubahan kualitas pendidikan nasional kita sudah semakin dekat menjadi kenyataan. Program sertifikasi ini telah menumbuhkan harapan dan optimisme kita tentang masa depan pendidikan nasional yang jauh lebih baik. Semoga!

* Afrianto Daud adalah alumnus Fakultas Pendidikan Universitas Monash Melbourne Australia. Penulis bisa dihubungi di anto_pasisia[a]yahoo.com