Asmara Subuh, Bukan Sembarangan Asmara

Asmara Subuh, Bukan Sembarangan Asmara

Tulisan ini bukan mengupas pengalaman asmaraku di subuh hari,  tetapi akan membahas salah satu kebiasaan anak muda di beberapa daerah, termasuk di Sumatera Barat ketika Ramadhan datang. Kebiasaan itu disebut dengan 'asmara subuh,' yaitu ketika ratusan anak bujang dan gadis (biasanya pada akhir pekan) keluar beramai-ramai di subuh hari dari masjid atau surau setelah menjalankan ibadah sholat subuh dan atau setelah mengaji menuju tempat-tempat umum, seperti taman, pinggir sungai, atau tepian pantai. Sebagian mereka berjalan kaki, dan sebagian lagi bersepeda motor.

Di tempat-tempat itulah para muda mudi ini dengan sarung atau mukena masih terbalut di badan terlihat bergerombol, bermain, berkejaran, tertawa, dan tak jarang juga memadu kasih. Ya, ritual mingguan ini seringkali dijadikan kesempatan bagi anak-anak 'jolong gadang' itu sebagai tempat untuk bertemu dengan kekasih mereka atau sebagai ajang 'pencarian' bagi mereka yang belum punya. Tak heran, jika anda sesekali menyaksikan suasana di lokasi ngumpulnya anak-anak muda ini, beberapa pasang anak adam itu terlihat mesra, tertawa cekikan, berpegangan, merajut asmara di pagi hari. Mungkin karena inilah, kebiasaan ini disebut dengan asmara subuh.


Saya tidak tahu bagaimana asal muasal tradisi ini ada dan berkembang di beberapa tempat. Namun keberadaan kegiatan seperti asmara subuh ini tentu terasa menjadi anomali dan atau kontraproduktif dengan suasana subuh dan Ramadhan itu sendiri. Penyematan kata 'asmara' pada kata 'subuh' dalam konteks ini adalah satu anomali, karena dua kata ini jelas bertolak belakang dari sisi esensi dan makna. Subuh yang syahdu dan penuh barakoh itu kemudian 'dikawinkan' dengan kata 'asmara' muda mudi yang tentu tidak kompatibel dengan esensi kesyahduan waktu subuh.

Anomali lebih jauh adalah ketika ini menjadi kebiasaan di waktu Ramadhan, yang juga secara esensi dipahami sebagai bulan suci, bulan dimana kaum muslimin diajarkan untuk menahan diri, menjaga diri dari segala sesuatu yang bisa mengotori jiwa. Hubungan asmara muda mudi di subuh itu sangat jelas bertentang dengan esensi Ramadhan itu sendiri.

Oleh karena itu, wajar jika beberapa pemerintah daerah resah dan bahkan harus menunurunkan satpol PP untuk 'mengamankan' suasana asmara subuh anak  muda ini. Kegiatan ini saya pikir pantas untuk digantikan dengan kegiatan lain yang lebih mendidik. Stop Asmara Subuh, karena dia bukan sembarang asmara!

--

Selamat berpuasa!

*gambar diambil dari sini dan sini
Menakar Peluang Seorang Andre Rosiade

Menakar Peluang Seorang Andre Rosiade

Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini awalnya ditulis untuk harian Padang Ekpress)

Saya ingin ‘sato sakaki’ dalam aliran ‘berbalas pantun’ dan atau polemik tentang Andre Rosiade, seorang pengusaha muda yang berniat maju bertarung menjadi Padang 1, menyusul tulisan saudara Erizal, Antara Tere dan Andre, (19/6) di harian ini, kemudian disusul tanggapan saudara Febrinansyah (25/6), dijawab lagi oleh Erizal (27/6), ‘ditengahi’ Endang Suparta, pengamat hokum, (28/6) dan terakhir dijawab sendiri oleh saudara Andre lewat tulisannya berjudul Menjawab Polemik Rekam Jejak (02/07). Barangkali saudara Andre harus berterimakasih kepada Saudara Erizal, karena tulisan Erizal justru menjadi awal ‘promosi gratis’ sosok Andre di media massa.

 Tulisan saya tidak akan masuk pada ranah mempertanyakan kemampuan dan atau rekam jejak seorang anak muda bernama Andre Rosiade, tidak juga bermaksud menambah daftar prestasi Andre di masa lalu, tetapi lebih akan menganalisa seberapa besar peluang Andre untuk menang dalam pertempuran politik memperebutkan kursi orang nomor satu kota Padang itu. Sebelumnya perlu saya sampaikan bahwa saya termasuk yang mengapresiasi keberanian Andre untuk maju dalam pemilihan walikota ini. Nyaris tidak ada satupun alasan legal formal dan sosio kultural yang bisa menghambat dan atau menghalangi niat Andre untuk mencalonkan diri.

Dalam konteks kepemimpinan muda, keputusan Andre untuk maju telah menjawab salah satu concern kita tentang regenerasi kepemimpinan selama ini. Seperti yang juga ditulis oleh bapak Irwan Prayitno dalam tulisannya berjudul Uncle, di pojok Teras Utama harian ini kemaren (02/07), bahwa bangsa ini mengalami kelangkaan kepemimpinan muda di panggung politik. Karenanya, keputusan Andre untuk mendeklarasikan diri sebagai calon walikota Padang dalam usiannya yang relatif muda, 33 tahun, pantas diapresiasi. Di panggung politik itu, Andre telah maju beberapa langkah dibanding saya, Erizal, atau anak-anak muda yang lain.  

Mengkalkulasi Peluang
Untuk menganalisa peluang calon pilwakot Padang, barangkali bisa dimulai dengan mengenal karakter karakter pemilih di kota Padang. Mengutip Eep Saifullah Fatah, pengamat politik sekaligus tenaga pengajar FISIPOL UI, secara umum pemilih dikategorikan ke dalam empat kelompok utama, yaitu , pertama pemilih rasional kalkulatif. Pemilih tipe ini adalah pemilih yang memutuskan pilihan politiknya berdasarkan perhitungan rasional dan logika.

Kelompok pemilih jenis ini sangat concern dan kritis dengan integritas kandidat serta visi dan misi masing-masing kandidat. Biasanya mereka berasal dari golongan masyarakat terdidik (well-educated) atau relatif tercerahkan dengan informasi yang cukup (well-informed) sebelum menjatuhkan pilihan. Kedua, pemilih primordial, yaitu kelompok pemilih yang memutuskan pilihan politiknya lebih karena alasan primordialisme seperti alasan agama, suku, ataupun keturunan. Pemilih tipe ini biasanya sangat mengagungkan simbol-simbol yang mereka anggap luhur, seperti agama, suku, atau kedaerahan, dan karena itu mereka cendrung tidak terlalu kritis dengan pilihan mereka. Kalangan nahdiyin, dalam hal tertentu, sering dikategorikan dalam kelompok ini. Ketiga, adalah pemilih pragmatis. Pemilih tipe ini biasanya menjatuhkan pilihan politik mereka lebih dipengaruhi oleh pertimbangan untung-rugi. Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat secara pribadi kepada mereka. Biasanya mereka juga tidak begitu peduli dan sama sekali tidak kritis dengan integritas dan visi misi yang di bawa kandidat. Keempat, pemilih emosional, yaitu kelompok pemilih yang cendrung memutuskan pilihan politiknya lebih karena alasan perasaan. Pilihan politik yang didasari rasa iba, misalnya, adalah pilihan yang emosional. Atau pilihan dengan alasan romantisme, seperti kagum dengan ketampanan atau kecantikan kandidat, misalnya, juga termasuk kategori pilihan emosional. Kebanyakan mereka biasanya berasal dari kalangan hawa dan atau pemilih pemula.

Analisa saya, untuk ukuran kota Padang pemilihnya cendrung sudah lebih rasional dan terdidik, walau tidak menafikan juga cukup banyak yang pragmatis, yang berfikir sesaat. Pemilih rasional inilah yang sering masuk dalam kelompok swing voters, pemilih yang tidak terikat dengan primordalisme tertentu dan akan dengan mudah menukar pilihan kepada sosok yang mereka anggap lebih baik. Landscape politik di kota Padang dalam tiga pemilu terakhir bisa menjelaskan bahwa pemilih kota Padang bukanlah pemilih yang loyal kepada partai tertentu, tetapi pemilih yang lebih percaya dengan pilihan rasionalnya, terlepas salah atau benar.

Maka oleh sebab itu, saya melihat ada tiga faktor yang akan sangat menentukan siapa pemenang pilwakot di kota Padang (sebenarnya juga di banyak tempat), yaitu ketokohan calon, kekuatan mesin politik, dan uang. Ketiga faktor ini saling mendukung dan menguatkan dalam rangka meraih simpati calon pemilih. Mereka yang memiliki ketiganya, dipastikan akan dengan mudah meraih suara warga kota. Ketokohan oleh orang Minang cendrung dilihat dari rekam jejak atau apa prestasi yang telah dia buat untuk kampung halaman.

Bagi orang Minang, hebat saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah ‘apa makan tangannya’ untuk anak negeri. Dan karena alasan inilah, menurut saya, Irwan Prayitno dulu kalah pamor dari Gamawan Fauzi, saat pilgub beberapa tahun yang lalu. Irwan waktu itu dipersepsi sebagai ‘orang rantau’ yang belum banyak berbuat untuk Sumatera Barat dibanding Gamawan Fauzi. Maka dalam konteks ketokohan, anak-anak muda seperti Andre cendrung berpotensi akan ‘tertarung’ di sini. Karena asumsinya para anak muda yang ‘jolong gadang’ itu masih belum terlihat ‘makan tangannya’. Mereka mungkin punya semangat. Tapi mereka miskin pengalaman. Salah satu kecendrungan orang awak, seperti yang dikatakan Erizal adalah cendrung lebih percaya kepada yang ‘sudah pulang’, bukan pada mereka yang baru ‘akan berangkat’.

Disamping ketokohan, dua kekuatan lain - kekuatan mesin politik dan uang - adalah juga sangat menentukan. Tidak bisa dibantah bahwa demokrasi kita adalah demokrasi yang ‘high cost’. Ini adalah harga yang harus kita bayar akibat ‘terlalu cepat’ menerima sistem demokrasi. Lihatlah berbagai prosesi pemilihan apapun di negeri ini. Uang adalah faktor utama yang mengerakkannya. Tidak hanya menggerakkan orang untuk memilih calon tertentu, tetapi juga bahkan termasuk untuk menggerakkan mesin politik untuk bekerja.

Melihat latar belakang Andre yang pengusaha, saya berprasangka baik bahwa Andre sudah menyiapkan logistic yang cukup terkait keuangan. Ini tentu bisa jadi modal yang baik. Bukan dalam rangka ‘membeli suara’ saat hari pemilihan, tetapi lebih bagaimana segala usaha pemenangan menjelang hari H yang high cost itu bisa ‘berjalan’. Mesin politik yang kuat menjadi faktor paling menentukan (terlepas dari masalah takdir, tentu). Lemahnya ketokohan dan kurangnya logistic bisa dibantu dan atau diperkuat oleh bergeraknya mesin politik pendukung secara baik. Sebaliknya, ketokohan dan uang saja tidak cukup, jika mesin politik pendukung calon tidak berjalan optimal. Saya tidak tahu persis apakah seorang Andre sudah mendapat restu dan dukungan dari parpol besar yang mengakar kuat di kota Padang.

Poin saya adalah, jika Andre bisa menyatukan ke tiga faktor ini, mengakselerasi ketokohannya lewat berbagai kegiatan pencitraan yang massif menjelang hari H pilwakot 2013, kemudian diback up oleh logistic dana yang cukup, dan dilengkapi dengan dukungan ril parpol dengan mesin politik tangguh, bukan tidak mungkin Andre Rosiade akan menjadi waliota Padang termuda dalam sejarah kepemimpinan kota Padang tercinta. Kalau tidak, bisa jadi apa yang diyakini Erizal benar bahwa suara warga kota Padang bukanlah untuk Andre Rosiade. Selamat berjuang, bung! Wallahu ‘alam.

* Afrianto Daud adalah aktivis mahasiswa angkatan 1998, saat ini sedang studi doktoral di Monash University Australia.