Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar

Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar



Oleh: Afrianto Daud
(Diterbitkan pertama kali oleh harian Riau Pos)
18 Oktober 2012 - 08.32 WIB. Dibaca 760 kali

Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-kanak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. (Stanley Kubrick, sutradara  film, 1928-1999)

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melakukan perombakan kurikulum pendidikan dasar.

Perubahan ini akan diuji coba  per Januari 2013, dan diharapkan akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2013/2014.

Sebagaimana disampaikan oleh Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud), pemerintah akan menyederhanakan jumlah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Selama ini pada jenjang SD rata-rata setiap sekolah memiliki 11 mata pelajaran, dan tahun depan akan disederhanakan menjadi sekitar tujuh mata pelajaran. Walaupun masih dalam taraf penggodokan, dikabarkan bahwa di kelas I-III SD, misalnya, telah disepakati hanya akan ada enam pelajaran.

Enam mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pemerintah akan lebih  memperdalam pokok bahasan atau materi pelajaran yang tersisa, karena selama ini dianggap muatan kurikulum itu cendrung dangkal.

Di samping itu pemerintah akan lebih menitikberatkan pengembangan karakter atau sikap (afektif) di tingkat SD, untuk kemudian baru akan memfokuskan pada pengembangan ketrampilan (psikomotor) di tingkat SMP. Sementara di level SMA, fokusnya diharapkan sudah pada pendalaman ilmu pengetahuan (kognitif) (Kompas, 1/10/2012).

Rencana revisi kurikulum ini kedengarannya cukup beralasan.

Di samping karena memang kurikulum pendidikan di negara manapun harus terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan waktu, dan dengan memperhatikan tantangan dan kebutuhan terkini, juga karena memang selama ini kurikulum sekolah kita di ditingkat dasar cendrung terkesan “ambisius”.

Sebagaimana dikatakan Stanley Kubrick pada kutipan di atas bahwa kesalahan fatal kurikulum kita selama ini adalah mencoba mengajarkan segala hal pada kanak-kanak. Sepertinya kita tak cukup sabar membentuk anak-anak usia SD itu untuk bisa “segala hal”.

Sehingga mereka harus dijejali dengan begitu banyak mata pelajaran yang belum tentu mereka butuhkan di usia seperti itu. Walau tidak terlalu relevan, beratnya beban kurikulum anak-anak SD kita bisa terlihat dari beratnya tentengan tas mereka di pagi hari saat berangkat ke sekolah, karena tas mereka dipenuhi oleh berbagai jenis buku tulis dan buku cetak, bahkan untuk anak SD kelas 1 sekalipun.

Sebagai ayah dari dua putri yang sedang dalam usia sekolah dasar, saya bisa melihat dan merasakan beban berat ini setiap hari.

Akibat kurikulum yang padat itu, sadar atau tidak kita barangkali telah “merampas” sebagian hak-hak anak-anak itu untuk menikmati sisi lain dunia mereka sebagai anak yang sedang bertumbuh.

Apalagi jika anak-anak itu dimasukkan orangtuanya ke full day school atau jika anak-anak itu juga harus dejejali berbagai kursus tambahan di sore hari. Maka lengkap sudah beban pelajaran yang harus mereka pikul.

Dampaknya, tidak hanya akan berakibat lelahnya fisik dan otak anak-anak itu, tetapi juga sangat mungkin akan membawa efek lainnya, seperti kemungkinan bahwa anak-anak itu  tumbuh menjadi pribadi yang  a-sosial, tidak peka dengan orang dan lingkungan mereka, karena mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia mereka di sekitar rumah sepulang sekolah.

Pemerintah tentu perlu memberikan penjelasan yang cukup kepada masyarakat terkait peniadaan atau peleburan beberapa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum baru ini. Karena peniadaan mata pelajaran itu akan membawa dampak pada pihak lain, semisal pada guru mata pelajaran yang akan kehilangan bidang ajarnya (baca: kehilangan pekerjaan). Termasuk juga akan berakibat pada institusi yang memproduksi guru – Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).

Penjelasan yang komprehensif dan ilmiah juga harus disampaikan pemerintah jika, misalnya, pemerintah juga melarang pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD pada kurikulum muatan lokal, mengingat Bahasa Inggris terlanjur dipercaya oleh banyak orang di republik ini sebagai bahasa yang sangat penting dikuasi, karenanya pengajarannya sedini mungkin seperti di level SD juga menjadi penting.

Terkait ide untuk fokus pada pendidikan karakter di tingkat SD, menurut saya sangatlah tepat. Banyak pakar pendidikan yang percaya bahwa sesungguhnya anak-anak pada usia SD berada pada usia emas mereka dalam hal penanaman nilai dan karakter.

Ini adalah usia yang sangat efektif untuk mendidik dan membina mentalitas seseorang. Ketika masa-masa ini terlewati, maka penanaman nilai itu akan lebih sulit dilakukan pada usia setelahnya.

Karenanya, 18 nilai/karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti kejujuran, kemandiran, empati, toleran, kerja keras, gemar membaca, bertanggung jawab akan sangat efektif jika ditanam dan dikembangkan dengan baik di usia-usia emas itu.

Tantangannya kemudian adalah apa dan bagaimana metode efektif penyampaian materi pengembangan karakter ini. Selama ini, catatan kritis tentang penerapan kurikulum pendidikan kita di sekolah adalah bahwa proses pendidikan kita cendrung masih fokus pada pengembangan ranah kognitif peserta didik.

Pendekatan pengajaran cendrung masih menggunakan metode lama, dengan menekankan hafalan peserta didik, bahkan untuk pelajaran praktis seperti akhlak dan budi pekerti sekalipun. Betul bahwa ranah afektif telah mulai menjadi perhatian, namun aspek pengetahuan masih sangat dominan, termasuk di bangku SD.

Terkait metode efektif ini, tersedianya guru-guru kompeten kemudian menjadi wajib. Dalam teori penanaman karakter,  metode “pembiasaan”, “pengkondisian” dan “modeling”  biasanya akan sangat efektif membentuk dan mengembangkan karakter seseorang.

Karenanya seorang guru harus bisa menciptakan sebuah atmosphere proses belajar mengajar dimana para peserta didik secara terus menerus terbiasa dan terkondisikan dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dan yang tak kalah penting, para peserta didik itu harus bisa melihat “contoh hidup” pelaku nilai-nilai itu di dunia nyata dari para guru mereka di sekolah.

Di sinilah kompetensi kepribadian seorang guru (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Guru) yang menekankan wajibnya seorang pendidik memiliki karakater kuat dalam dirinya itu menjadi penting dan relevan.

Guru yang kompeten diharapkan menjadi guru yang bisa menginspirasi siswa, guru yang bisa berdialog secara edukatif dengan siswa, dan guru yang bisa menemukan teknik-teknik kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi siswa SD.

Dari para guru kreatif ini, diharapkan para peserta didik dapat menjalani proses pembelajaran dalam suasana yang dinamis, bersemangat, dan penuh kegembiraan. Sehingga anak-anak SD itu bisa merasakan proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang memberatkan.

Selain metode yang tepat dan guru yang kompeten, adalah penting kita sadari bahwa keberhasilan proses pendidikan di sekolah tidak akan pernah maksimal jika tidak ditunjang oleh stakeholder lain, seperti orangtua dan masyarakat.

Bahkan, pengaruh orangtua dan lingkungan di luar sekolah bisa jadi lebih besar mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak daripada apa yang mereka peroleh di sekolah. Karenanya, dukungan orangtua dalam pendidikan keluarga dan dukungan masyarakat dimana anak tinggal menjadi sangat penting.

Selama ini yang terputus dari mata rantai pendidikan kita adalah eksistensi keluarga dan masyarakat ini. Dalam banyak kasus, ada kontradiksi antara nilai yang peserta didik pelajari di sekolah dengan yang mereka lihat dan alami di luar sekolah.

Di sekolah mereka diajarkan untuk bertenggang rasa, misalnya, namun di jalanan mereka saksikan para pengemudi yang cendrung mau menang sendiri. Di sekolah mereka belajar tentang sopan santun, di telivisi setiap saat mereka menyaksikan berbagai acara mengumbar aurat atau berbagai filem dengan tema pergaulan bebas.

Di sekolah mereka diajarkan tentang kejujuran, namun di media mereka lihat dan baca parade orang-orang terhormat antrian dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi.

Di sekolah mereka dilarang merokok, tetapi di rumah setiap saat si anak menyaksikan kepulan asap rokok bapaknya. Akan sangat panjang daftar paradoks seperti ini kalau kita akan list di sini.

Dengan demikian, poin saya adalah bahwa kurikulum pendidikan kita (tidak hanya di tingkat SD sebenarnya) memang perlu terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman terkini, namun perubahan kurikulum itu tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pembentukan anak didik kita yang berkarakter kuat, jika tidak dibarengi dan didukung oleh keluarga mereka atau masyarakat di luar sekolah secara umum.

Karenanya, penting dipikirkan bagaimana menyambungkan mata rantai sekolah, dengan keluarga, dan lingkungan yang lebih luas dalam rangka mendidik generasi masa depan kita. Wallahu a’alam.***

* Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.
 
Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar
18 Oktober 2012 - 08.32 WIB > Dibaca 760 kali

Click Here
Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-kanak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. (Stanley Kubrick, sutradara  film, 1928-1999)

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melakukan perombakan kurikulum pendidikan dasar.

Perubahan ini akan diuji coba  per Januari 2013, dan diharapkan akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2013/2014.

Sebagaimana disampaikan oleh Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud), pemerintah akan menyederhanakan jumlah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Selama ini pada jenjang SD rata-rata setiap sekolah memiliki 11 mata pelajaran, dan tahun depan akan disederhanakan menjadi sekitar tujuh mata pelajaran. Walaupun masih dalam taraf penggodokan, dikabarkan bahwa di kelas I-III SD, misalnya, telah disepakati hanya akan ada enam pelajaran.

Enam mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pemerintah akan lebih  memperdalam pokok bahasan atau materi pelajaran yang tersisa, karena selama ini dianggap muatan kurikulum itu cendrung dangkal.

Di samping itu pemerintah akan lebih menitikberatkan pengembangan karakter atau sikap (afektif) di tingkat SD, untuk kemudian baru akan memfokuskan pada pengembangan ketrampilan (psikomotor) di tingkat SMP. Sementara di level SMA, fokusnya diharapkan sudah pada pendalaman ilmu pengetahuan (kognitif) (Kompas, 1/10/2012).

Rencana revisi kurikulum ini kedengarannya cukup beralasan.

Di samping karena memang kurikulum pendidikan di negara manapun harus terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan waktu, dan dengan memperhatikan tantangan dan kebutuhan terkini, juga karena memang selama ini kurikulum sekolah kita di ditingkat dasar cendrung terkesan “ambisius”.

Sebagaimana dikatakan Stanley Kubrick pada kutipan di atas bahwa kesalahan fatal kurikulum kita selama ini adalah mencoba mengajarkan segala hal pada kanak-kanak. Sepertinya kita tak cukup sabar membentuk anak-anak usia SD itu untuk bisa “segala hal”.

Sehingga mereka harus dijejali dengan begitu banyak mata pelajaran yang belum tentu mereka butuhkan di usia seperti itu. Walau tidak terlalu relevan, beratnya beban kurikulum anak-anak SD kita bisa terlihat dari beratnya tentengan tas mereka di pagi hari saat berangkat ke sekolah, karena tas mereka dipenuhi oleh berbagai jenis buku tulis dan buku cetak, bahkan untuk anak SD kelas 1 sekalipun.

Sebagai ayah dari dua putri yang sedang dalam usia sekolah dasar, saya bisa melihat dan merasakan beban berat ini setiap hari.

Akibat kurikulum yang padat itu, sadar atau tidak kita barangkali telah “merampas” sebagian hak-hak anak-anak itu untuk menikmati sisi lain dunia mereka sebagai anak yang sedang bertumbuh.

Apalagi jika anak-anak itu dimasukkan orangtuanya ke full day school atau jika anak-anak itu juga harus dejejali berbagai kursus tambahan di sore hari. Maka lengkap sudah beban pelajaran yang harus mereka pikul.

Dampaknya, tidak hanya akan berakibat lelahnya fisik dan otak anak-anak itu, tetapi juga sangat mungkin akan membawa efek lainnya, seperti kemungkinan bahwa anak-anak itu  tumbuh menjadi pribadi yang  a-sosial, tidak peka dengan orang dan lingkungan mereka, karena mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia mereka di sekitar rumah sepulang sekolah.

Pemerintah tentu perlu memberikan penjelasan yang cukup kepada masyarakat terkait peniadaan atau peleburan beberapa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum baru ini. Karena peniadaan mata pelajaran itu akan membawa dampak pada pihak lain, semisal pada guru mata pelajaran yang akan kehilangan bidang ajarnya (baca: kehilangan pekerjaan). Termasuk juga akan berakibat pada institusi yang memproduksi guru – Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).

Penjelasan yang komprehensif dan ilmiah juga harus disampaikan pemerintah jika, misalnya, pemerintah juga melarang pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD pada kurikulum muatan lokal, mengingat Bahasa Inggris terlanjur dipercaya oleh banyak orang di republik ini sebagai bahasa yang sangat penting dikuasi, karenanya pengajarannya sedini mungkin seperti di level SD juga menjadi penting.

Terkait ide untuk fokus pada pendidikan karakter di tingkat SD, menurut saya sangatlah tepat. Banyak pakar pendidikan yang percaya bahwa sesungguhnya anak-anak pada usia SD berada pada usia emas mereka dalam hal penanaman nilai dan karakter.

Ini adalah usia yang sangat efektif untuk mendidik dan membina mentalitas seseorang. Ketika masa-masa ini terlewati, maka penanaman nilai itu akan lebih sulit dilakukan pada usia setelahnya.

Karenanya, 18 nilai/karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti kejujuran, kemandiran, empati, toleran, kerja keras, gemar membaca, bertanggung jawab akan sangat efektif jika ditanam dan dikembangkan dengan baik di usia-usia emas itu.

Tantangannya kemudian adalah apa dan bagaimana metode efektif penyampaian materi pengembangan karakter ini. Selama ini, catatan kritis tentang penerapan kurikulum pendidikan kita di sekolah adalah bahwa proses pendidikan kita cendrung masih fokus pada pengembangan ranah kognitif peserta didik.

Pendekatan pengajaran cendrung masih menggunakan metode lama, dengan menekankan hafalan peserta didik, bahkan untuk pelajaran praktis seperti akhlak dan budi pekerti sekalipun. Betul bahwa ranah afektif telah mulai menjadi perhatian, namun aspek pengetahuan masih sangat dominan, termasuk di bangku SD.

Terkait metode efektif ini, tersedianya guru-guru kompeten kemudian menjadi wajib. Dalam teori penanaman karakter,  metode “pembiasaan”, “pengkondisian” dan “modeling”  biasanya akan sangat efektif membentuk dan mengembangkan karakter seseorang.

Karenanya seorang guru harus bisa menciptakan sebuah atmosphere proses belajar mengajar dimana para peserta didik secara terus menerus terbiasa dan terkondisikan dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dan yang tak kalah penting, para peserta didik itu harus bisa melihat “contoh hidup” pelaku nilai-nilai itu di dunia nyata dari para guru mereka di sekolah.

Di sinilah kompetensi kepribadian seorang guru (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Guru) yang menekankan wajibnya seorang pendidik memiliki karakater kuat dalam dirinya itu menjadi penting dan relevan.

Guru yang kompeten diharapkan menjadi guru yang bisa menginspirasi siswa, guru yang bisa berdialog secara edukatif dengan siswa, dan guru yang bisa menemukan teknik-teknik kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi siswa SD.

Dari para guru kreatif ini, diharapkan para peserta didik dapat menjalani proses pembelajaran dalam suasana yang dinamis, bersemangat, dan penuh kegembiraan. Sehingga anak-anak SD itu bisa merasakan proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang memberatkan.

Selain metode yang tepat dan guru yang kompeten, adalah penting kita sadari bahwa keberhasilan proses pendidikan di sekolah tidak akan pernah maksimal jika tidak ditunjang oleh stakeholder lain, seperti orangtua dan masyarakat.

Bahkan, pengaruh orangtua dan lingkungan di luar sekolah bisa jadi lebih besar mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak daripada apa yang mereka peroleh di sekolah. Karenanya, dukungan orangtua dalam pendidikan keluarga dan dukungan masyarakat dimana anak tinggal menjadi sangat penting.

Selama ini yang terputus dari mata rantai pendidikan kita adalah eksistensi keluarga dan masyarakat ini. Dalam banyak kasus, ada kontradiksi antara nilai yang peserta didik pelajari di sekolah dengan yang mereka lihat dan alami di luar sekolah.

Di sekolah mereka diajarkan untuk bertenggang rasa, misalnya, namun di jalanan mereka saksikan para pengemudi yang cendrung mau menang sendiri. Di sekolah mereka belajar tentang sopan santun, di telivisi setiap saat mereka menyaksikan berbagai acara mengumbar aurat atau berbagai filem dengan tema pergaulan bebas.

Di sekolah mereka diajarkan tentang kejujuran, namun di media mereka lihat dan baca parade orang-orang terhormat antrian dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi.

Di sekolah mereka dilarang merokok, tetapi di rumah setiap saat si anak menyaksikan kepulan asap rokok bapaknya. Akan sangat panjang daftar paradoks seperti ini kalau kita akan list di sini.

Dengan demikian, poin saya adalah bahwa kurikulum pendidikan kita (tidak hanya di tingkat SD sebenarnya) memang perlu terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman terkini, namun perubahan kurikulum itu tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pembentukan anak didik kita yang berkarakter kuat, jika tidak dibarengi dan didukung oleh keluarga mereka atau masyarakat di luar sekolah secara umum.

Karenanya, penting dipikirkan bagaimana menyambungkan mata rantai sekolah, dengan keluarga, dan lingkungan yang lebih luas dalam rangka mendidik generasi masa depan kita. Wallahu a’alam.***

Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.
- See more at: http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1378&kat=1#sthash.9guXBW
Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar
18 Oktober 2012 - 08.32 WIB > Dibaca 760 kali

Click Here
Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-kanak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. (Stanley Kubrick, sutradara  film, 1928-1999)

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melakukan perombakan kurikulum pendidikan dasar.

Perubahan ini akan diuji coba  per Januari 2013, dan diharapkan akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2013/2014.

Sebagaimana disampaikan oleh Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud), pemerintah akan menyederhanakan jumlah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Selama ini pada jenjang SD rata-rata setiap sekolah memiliki 11 mata pelajaran, dan tahun depan akan disederhanakan menjadi sekitar tujuh mata pelajaran. Walaupun masih dalam taraf penggodokan, dikabarkan bahwa di kelas I-III SD, misalnya, telah disepakati hanya akan ada enam pelajaran.

Enam mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pemerintah akan lebih  memperdalam pokok bahasan atau materi pelajaran yang tersisa, karena selama ini dianggap muatan kurikulum itu cendrung dangkal.

Di samping itu pemerintah akan lebih menitikberatkan pengembangan karakter atau sikap (afektif) di tingkat SD, untuk kemudian baru akan memfokuskan pada pengembangan ketrampilan (psikomotor) di tingkat SMP. Sementara di level SMA, fokusnya diharapkan sudah pada pendalaman ilmu pengetahuan (kognitif) (Kompas, 1/10/2012).

Rencana revisi kurikulum ini kedengarannya cukup beralasan.

Di samping karena memang kurikulum pendidikan di negara manapun harus terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan waktu, dan dengan memperhatikan tantangan dan kebutuhan terkini, juga karena memang selama ini kurikulum sekolah kita di ditingkat dasar cendrung terkesan “ambisius”.

Sebagaimana dikatakan Stanley Kubrick pada kutipan di atas bahwa kesalahan fatal kurikulum kita selama ini adalah mencoba mengajarkan segala hal pada kanak-kanak. Sepertinya kita tak cukup sabar membentuk anak-anak usia SD itu untuk bisa “segala hal”.

Sehingga mereka harus dijejali dengan begitu banyak mata pelajaran yang belum tentu mereka butuhkan di usia seperti itu. Walau tidak terlalu relevan, beratnya beban kurikulum anak-anak SD kita bisa terlihat dari beratnya tentengan tas mereka di pagi hari saat berangkat ke sekolah, karena tas mereka dipenuhi oleh berbagai jenis buku tulis dan buku cetak, bahkan untuk anak SD kelas 1 sekalipun.

Sebagai ayah dari dua putri yang sedang dalam usia sekolah dasar, saya bisa melihat dan merasakan beban berat ini setiap hari.

Akibat kurikulum yang padat itu, sadar atau tidak kita barangkali telah “merampas” sebagian hak-hak anak-anak itu untuk menikmati sisi lain dunia mereka sebagai anak yang sedang bertumbuh.

Apalagi jika anak-anak itu dimasukkan orangtuanya ke full day school atau jika anak-anak itu juga harus dejejali berbagai kursus tambahan di sore hari. Maka lengkap sudah beban pelajaran yang harus mereka pikul.

Dampaknya, tidak hanya akan berakibat lelahnya fisik dan otak anak-anak itu, tetapi juga sangat mungkin akan membawa efek lainnya, seperti kemungkinan bahwa anak-anak itu  tumbuh menjadi pribadi yang  a-sosial, tidak peka dengan orang dan lingkungan mereka, karena mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia mereka di sekitar rumah sepulang sekolah.

Pemerintah tentu perlu memberikan penjelasan yang cukup kepada masyarakat terkait peniadaan atau peleburan beberapa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum baru ini. Karena peniadaan mata pelajaran itu akan membawa dampak pada pihak lain, semisal pada guru mata pelajaran yang akan kehilangan bidang ajarnya (baca: kehilangan pekerjaan). Termasuk juga akan berakibat pada institusi yang memproduksi guru – Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).

Penjelasan yang komprehensif dan ilmiah juga harus disampaikan pemerintah jika, misalnya, pemerintah juga melarang pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD pada kurikulum muatan lokal, mengingat Bahasa Inggris terlanjur dipercaya oleh banyak orang di republik ini sebagai bahasa yang sangat penting dikuasi, karenanya pengajarannya sedini mungkin seperti di level SD juga menjadi penting.

Terkait ide untuk fokus pada pendidikan karakter di tingkat SD, menurut saya sangatlah tepat. Banyak pakar pendidikan yang percaya bahwa sesungguhnya anak-anak pada usia SD berada pada usia emas mereka dalam hal penanaman nilai dan karakter.

Ini adalah usia yang sangat efektif untuk mendidik dan membina mentalitas seseorang. Ketika masa-masa ini terlewati, maka penanaman nilai itu akan lebih sulit dilakukan pada usia setelahnya.

Karenanya, 18 nilai/karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti kejujuran, kemandiran, empati, toleran, kerja keras, gemar membaca, bertanggung jawab akan sangat efektif jika ditanam dan dikembangkan dengan baik di usia-usia emas itu.

Tantangannya kemudian adalah apa dan bagaimana metode efektif penyampaian materi pengembangan karakter ini. Selama ini, catatan kritis tentang penerapan kurikulum pendidikan kita di sekolah adalah bahwa proses pendidikan kita cendrung masih fokus pada pengembangan ranah kognitif peserta didik.

Pendekatan pengajaran cendrung masih menggunakan metode lama, dengan menekankan hafalan peserta didik, bahkan untuk pelajaran praktis seperti akhlak dan budi pekerti sekalipun. Betul bahwa ranah afektif telah mulai menjadi perhatian, namun aspek pengetahuan masih sangat dominan, termasuk di bangku SD.

Terkait metode efektif ini, tersedianya guru-guru kompeten kemudian menjadi wajib. Dalam teori penanaman karakter,  metode “pembiasaan”, “pengkondisian” dan “modeling”  biasanya akan sangat efektif membentuk dan mengembangkan karakter seseorang.

Karenanya seorang guru harus bisa menciptakan sebuah atmosphere proses belajar mengajar dimana para peserta didik secara terus menerus terbiasa dan terkondisikan dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dan yang tak kalah penting, para peserta didik itu harus bisa melihat “contoh hidup” pelaku nilai-nilai itu di dunia nyata dari para guru mereka di sekolah.

Di sinilah kompetensi kepribadian seorang guru (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Guru) yang menekankan wajibnya seorang pendidik memiliki karakater kuat dalam dirinya itu menjadi penting dan relevan.

Guru yang kompeten diharapkan menjadi guru yang bisa menginspirasi siswa, guru yang bisa berdialog secara edukatif dengan siswa, dan guru yang bisa menemukan teknik-teknik kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi siswa SD.

Dari para guru kreatif ini, diharapkan para peserta didik dapat menjalani proses pembelajaran dalam suasana yang dinamis, bersemangat, dan penuh kegembiraan. Sehingga anak-anak SD itu bisa merasakan proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang memberatkan.

Selain metode yang tepat dan guru yang kompeten, adalah penting kita sadari bahwa keberhasilan proses pendidikan di sekolah tidak akan pernah maksimal jika tidak ditunjang oleh stakeholder lain, seperti orangtua dan masyarakat.

Bahkan, pengaruh orangtua dan lingkungan di luar sekolah bisa jadi lebih besar mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak daripada apa yang mereka peroleh di sekolah. Karenanya, dukungan orangtua dalam pendidikan keluarga dan dukungan masyarakat dimana anak tinggal menjadi sangat penting.

Selama ini yang terputus dari mata rantai pendidikan kita adalah eksistensi keluarga dan masyarakat ini. Dalam banyak kasus, ada kontradiksi antara nilai yang peserta didik pelajari di sekolah dengan yang mereka lihat dan alami di luar sekolah.

Di sekolah mereka diajarkan untuk bertenggang rasa, misalnya, namun di jalanan mereka saksikan para pengemudi yang cendrung mau menang sendiri. Di sekolah mereka belajar tentang sopan santun, di telivisi setiap saat mereka menyaksikan berbagai acara mengumbar aurat atau berbagai filem dengan tema pergaulan bebas.

Di sekolah mereka diajarkan tentang kejujuran, namun di media mereka lihat dan baca parade orang-orang terhormat antrian dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi.

Di sekolah mereka dilarang merokok, tetapi di rumah setiap saat si anak menyaksikan kepulan asap rokok bapaknya. Akan sangat panjang daftar paradoks seperti ini kalau kita akan list di sini.

Dengan demikian, poin saya adalah bahwa kurikulum pendidikan kita (tidak hanya di tingkat SD sebenarnya) memang perlu terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman terkini, namun perubahan kurikulum itu tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pembentukan anak didik kita yang berkarakter kuat, jika tidak dibarengi dan didukung oleh keluarga mereka atau masyarakat di luar sekolah secara umum.

Karenanya, penting dipikirkan bagaimana menyambungkan mata rantai sekolah, dengan keluarga, dan lingkungan yang lebih luas dalam rangka mendidik generasi masa depan kita. Wallahu a’alam.***

Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.
- See more at: http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1378&kat=1#sthash.9guXBW5U.dpuf
Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar
18 Oktober 2012 - 08.32 WIB > Dibaca 760 kali

Click Here
Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-kanak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. (Stanley Kubrick, sutradara  film, 1928-1999)

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melakukan perombakan kurikulum pendidikan dasar.

Perubahan ini akan diuji coba  per Januari 2013, dan diharapkan akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2013/2014.

Sebagaimana disampaikan oleh Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud), pemerintah akan menyederhanakan jumlah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Selama ini pada jenjang SD rata-rata setiap sekolah memiliki 11 mata pelajaran, dan tahun depan akan disederhanakan menjadi sekitar tujuh mata pelajaran. Walaupun masih dalam taraf penggodokan, dikabarkan bahwa di kelas I-III SD, misalnya, telah disepakati hanya akan ada enam pelajaran.

Enam mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pemerintah akan lebih  memperdalam pokok bahasan atau materi pelajaran yang tersisa, karena selama ini dianggap muatan kurikulum itu cendrung dangkal.

Di samping itu pemerintah akan lebih menitikberatkan pengembangan karakter atau sikap (afektif) di tingkat SD, untuk kemudian baru akan memfokuskan pada pengembangan ketrampilan (psikomotor) di tingkat SMP. Sementara di level SMA, fokusnya diharapkan sudah pada pendalaman ilmu pengetahuan (kognitif) (Kompas, 1/10/2012).

Rencana revisi kurikulum ini kedengarannya cukup beralasan.

Di samping karena memang kurikulum pendidikan di negara manapun harus terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan waktu, dan dengan memperhatikan tantangan dan kebutuhan terkini, juga karena memang selama ini kurikulum sekolah kita di ditingkat dasar cendrung terkesan “ambisius”.

Sebagaimana dikatakan Stanley Kubrick pada kutipan di atas bahwa kesalahan fatal kurikulum kita selama ini adalah mencoba mengajarkan segala hal pada kanak-kanak. Sepertinya kita tak cukup sabar membentuk anak-anak usia SD itu untuk bisa “segala hal”.

Sehingga mereka harus dijejali dengan begitu banyak mata pelajaran yang belum tentu mereka butuhkan di usia seperti itu. Walau tidak terlalu relevan, beratnya beban kurikulum anak-anak SD kita bisa terlihat dari beratnya tentengan tas mereka di pagi hari saat berangkat ke sekolah, karena tas mereka dipenuhi oleh berbagai jenis buku tulis dan buku cetak, bahkan untuk anak SD kelas 1 sekalipun.

Sebagai ayah dari dua putri yang sedang dalam usia sekolah dasar, saya bisa melihat dan merasakan beban berat ini setiap hari.

Akibat kurikulum yang padat itu, sadar atau tidak kita barangkali telah “merampas” sebagian hak-hak anak-anak itu untuk menikmati sisi lain dunia mereka sebagai anak yang sedang bertumbuh.

Apalagi jika anak-anak itu dimasukkan orangtuanya ke full day school atau jika anak-anak itu juga harus dejejali berbagai kursus tambahan di sore hari. Maka lengkap sudah beban pelajaran yang harus mereka pikul.

Dampaknya, tidak hanya akan berakibat lelahnya fisik dan otak anak-anak itu, tetapi juga sangat mungkin akan membawa efek lainnya, seperti kemungkinan bahwa anak-anak itu  tumbuh menjadi pribadi yang  a-sosial, tidak peka dengan orang dan lingkungan mereka, karena mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia mereka di sekitar rumah sepulang sekolah.

Pemerintah tentu perlu memberikan penjelasan yang cukup kepada masyarakat terkait peniadaan atau peleburan beberapa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum baru ini. Karena peniadaan mata pelajaran itu akan membawa dampak pada pihak lain, semisal pada guru mata pelajaran yang akan kehilangan bidang ajarnya (baca: kehilangan pekerjaan). Termasuk juga akan berakibat pada institusi yang memproduksi guru – Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).

Penjelasan yang komprehensif dan ilmiah juga harus disampaikan pemerintah jika, misalnya, pemerintah juga melarang pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD pada kurikulum muatan lokal, mengingat Bahasa Inggris terlanjur dipercaya oleh banyak orang di republik ini sebagai bahasa yang sangat penting dikuasi, karenanya pengajarannya sedini mungkin seperti di level SD juga menjadi penting.

Terkait ide untuk fokus pada pendidikan karakter di tingkat SD, menurut saya sangatlah tepat. Banyak pakar pendidikan yang percaya bahwa sesungguhnya anak-anak pada usia SD berada pada usia emas mereka dalam hal penanaman nilai dan karakter.

Ini adalah usia yang sangat efektif untuk mendidik dan membina mentalitas seseorang. Ketika masa-masa ini terlewati, maka penanaman nilai itu akan lebih sulit dilakukan pada usia setelahnya.

Karenanya, 18 nilai/karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti kejujuran, kemandiran, empati, toleran, kerja keras, gemar membaca, bertanggung jawab akan sangat efektif jika ditanam dan dikembangkan dengan baik di usia-usia emas itu.

Tantangannya kemudian adalah apa dan bagaimana metode efektif penyampaian materi pengembangan karakter ini. Selama ini, catatan kritis tentang penerapan kurikulum pendidikan kita di sekolah adalah bahwa proses pendidikan kita cendrung masih fokus pada pengembangan ranah kognitif peserta didik.

Pendekatan pengajaran cendrung masih menggunakan metode lama, dengan menekankan hafalan peserta didik, bahkan untuk pelajaran praktis seperti akhlak dan budi pekerti sekalipun. Betul bahwa ranah afektif telah mulai menjadi perhatian, namun aspek pengetahuan masih sangat dominan, termasuk di bangku SD.

Terkait metode efektif ini, tersedianya guru-guru kompeten kemudian menjadi wajib. Dalam teori penanaman karakter,  metode “pembiasaan”, “pengkondisian” dan “modeling”  biasanya akan sangat efektif membentuk dan mengembangkan karakter seseorang.

Karenanya seorang guru harus bisa menciptakan sebuah atmosphere proses belajar mengajar dimana para peserta didik secara terus menerus terbiasa dan terkondisikan dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dan yang tak kalah penting, para peserta didik itu harus bisa melihat “contoh hidup” pelaku nilai-nilai itu di dunia nyata dari para guru mereka di sekolah.

Di sinilah kompetensi kepribadian seorang guru (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Guru) yang menekankan wajibnya seorang pendidik memiliki karakater kuat dalam dirinya itu menjadi penting dan relevan.

Guru yang kompeten diharapkan menjadi guru yang bisa menginspirasi siswa, guru yang bisa berdialog secara edukatif dengan siswa, dan guru yang bisa menemukan teknik-teknik kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi siswa SD.

Dari para guru kreatif ini, diharapkan para peserta didik dapat menjalani proses pembelajaran dalam suasana yang dinamis, bersemangat, dan penuh kegembiraan. Sehingga anak-anak SD itu bisa merasakan proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang memberatkan.

Selain metode yang tepat dan guru yang kompeten, adalah penting kita sadari bahwa keberhasilan proses pendidikan di sekolah tidak akan pernah maksimal jika tidak ditunjang oleh stakeholder lain, seperti orangtua dan masyarakat.

Bahkan, pengaruh orangtua dan lingkungan di luar sekolah bisa jadi lebih besar mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak daripada apa yang mereka peroleh di sekolah. Karenanya, dukungan orangtua dalam pendidikan keluarga dan dukungan masyarakat dimana anak tinggal menjadi sangat penting.

Selama ini yang terputus dari mata rantai pendidikan kita adalah eksistensi keluarga dan masyarakat ini. Dalam banyak kasus, ada kontradiksi antara nilai yang peserta didik pelajari di sekolah dengan yang mereka lihat dan alami di luar sekolah.

Di sekolah mereka diajarkan untuk bertenggang rasa, misalnya, namun di jalanan mereka saksikan para pengemudi yang cendrung mau menang sendiri. Di sekolah mereka belajar tentang sopan santun, di telivisi setiap saat mereka menyaksikan berbagai acara mengumbar aurat atau berbagai filem dengan tema pergaulan bebas.

Di sekolah mereka diajarkan tentang kejujuran, namun di media mereka lihat dan baca parade orang-orang terhormat antrian dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi.

Di sekolah mereka dilarang merokok, tetapi di rumah setiap saat si anak menyaksikan kepulan asap rokok bapaknya. Akan sangat panjang daftar paradoks seperti ini kalau kita akan list di sini.

Dengan demikian, poin saya adalah bahwa kurikulum pendidikan kita (tidak hanya di tingkat SD sebenarnya) memang perlu terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman terkini, namun perubahan kurikulum itu tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pembentukan anak didik kita yang berkarakter kuat, jika tidak dibarengi dan didukung oleh keluarga mereka atau masyarakat di luar sekolah secara umum.

Karenanya, penting dipikirkan bagaimana menyambungkan mata rantai sekolah, dengan keluarga, dan lingkungan yang lebih luas dalam rangka mendidik generasi masa depan kita. Wallahu a’alam.***

Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.
- See more at: http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1378&kat=1#sthash.9guXBW5U.dpufbb
Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar
18 Oktober 2012 - 08.32 WIB > Dibaca 760 kali

Click Here
Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-kanak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. (Stanley Kubrick, sutradara  film, 1928-1999)

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melakukan perombakan kurikulum pendidikan dasar.

Perubahan ini akan diuji coba  per Januari 2013, dan diharapkan akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2013/2014.

Sebagaimana disampaikan oleh Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud), pemerintah akan menyederhanakan jumlah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Selama ini pada jenjang SD rata-rata setiap sekolah memiliki 11 mata pelajaran, dan tahun depan akan disederhanakan menjadi sekitar tujuh mata pelajaran. Walaupun masih dalam taraf penggodokan, dikabarkan bahwa di kelas I-III SD, misalnya, telah disepakati hanya akan ada enam pelajaran.

Enam mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pemerintah akan lebih  memperdalam pokok bahasan atau materi pelajaran yang tersisa, karena selama ini dianggap muatan kurikulum itu cendrung dangkal.

Di samping itu pemerintah akan lebih menitikberatkan pengembangan karakter atau sikap (afektif) di tingkat SD, untuk kemudian baru akan memfokuskan pada pengembangan ketrampilan (psikomotor) di tingkat SMP. Sementara di level SMA, fokusnya diharapkan sudah pada pendalaman ilmu pengetahuan (kognitif) (Kompas, 1/10/2012).

Rencana revisi kurikulum ini kedengarannya cukup beralasan.

Di samping karena memang kurikulum pendidikan di negara manapun harus terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan waktu, dan dengan memperhatikan tantangan dan kebutuhan terkini, juga karena memang selama ini kurikulum sekolah kita di ditingkat dasar cendrung terkesan “ambisius”.

Sebagaimana dikatakan Stanley Kubrick pada kutipan di atas bahwa kesalahan fatal kurikulum kita selama ini adalah mencoba mengajarkan segala hal pada kanak-kanak. Sepertinya kita tak cukup sabar membentuk anak-anak usia SD itu untuk bisa “segala hal”.

Sehingga mereka harus dijejali dengan begitu banyak mata pelajaran yang belum tentu mereka butuhkan di usia seperti itu. Walau tidak terlalu relevan, beratnya beban kurikulum anak-anak SD kita bisa terlihat dari beratnya tentengan tas mereka di pagi hari saat berangkat ke sekolah, karena tas mereka dipenuhi oleh berbagai jenis buku tulis dan buku cetak, bahkan untuk anak SD kelas 1 sekalipun.

Sebagai ayah dari dua putri yang sedang dalam usia sekolah dasar, saya bisa melihat dan merasakan beban berat ini setiap hari.

Akibat kurikulum yang padat itu, sadar atau tidak kita barangkali telah “merampas” sebagian hak-hak anak-anak itu untuk menikmati sisi lain dunia mereka sebagai anak yang sedang bertumbuh.

Apalagi jika anak-anak itu dimasukkan orangtuanya ke full day school atau jika anak-anak itu juga harus dejejali berbagai kursus tambahan di sore hari. Maka lengkap sudah beban pelajaran yang harus mereka pikul.

Dampaknya, tidak hanya akan berakibat lelahnya fisik dan otak anak-anak itu, tetapi juga sangat mungkin akan membawa efek lainnya, seperti kemungkinan bahwa anak-anak itu  tumbuh menjadi pribadi yang  a-sosial, tidak peka dengan orang dan lingkungan mereka, karena mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia mereka di sekitar rumah sepulang sekolah.

Pemerintah tentu perlu memberikan penjelasan yang cukup kepada masyarakat terkait peniadaan atau peleburan beberapa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum baru ini. Karena peniadaan mata pelajaran itu akan membawa dampak pada pihak lain, semisal pada guru mata pelajaran yang akan kehilangan bidang ajarnya (baca: kehilangan pekerjaan). Termasuk juga akan berakibat pada institusi yang memproduksi guru – Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).

Penjelasan yang komprehensif dan ilmiah juga harus disampaikan pemerintah jika, misalnya, pemerintah juga melarang pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD pada kurikulum muatan lokal, mengingat Bahasa Inggris terlanjur dipercaya oleh banyak orang di republik ini sebagai bahasa yang sangat penting dikuasi, karenanya pengajarannya sedini mungkin seperti di level SD juga menjadi penting.

Terkait ide untuk fokus pada pendidikan karakter di tingkat SD, menurut saya sangatlah tepat. Banyak pakar pendidikan yang percaya bahwa sesungguhnya anak-anak pada usia SD berada pada usia emas mereka dalam hal penanaman nilai dan karakter.

Ini adalah usia yang sangat efektif untuk mendidik dan membina mentalitas seseorang. Ketika masa-masa ini terlewati, maka penanaman nilai itu akan lebih sulit dilakukan pada usia setelahnya.

Karenanya, 18 nilai/karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti kejujuran, kemandiran, empati, toleran, kerja keras, gemar membaca, bertanggung jawab akan sangat efektif jika ditanam dan dikembangkan dengan baik di usia-usia emas itu.

Tantangannya kemudian adalah apa dan bagaimana metode efektif penyampaian materi pengembangan karakter ini. Selama ini, catatan kritis tentang penerapan kurikulum pendidikan kita di sekolah adalah bahwa proses pendidikan kita cendrung masih fokus pada pengembangan ranah kognitif peserta didik.

Pendekatan pengajaran cendrung masih menggunakan metode lama, dengan menekankan hafalan peserta didik, bahkan untuk pelajaran praktis seperti akhlak dan budi pekerti sekalipun. Betul bahwa ranah afektif telah mulai menjadi perhatian, namun aspek pengetahuan masih sangat dominan, termasuk di bangku SD.

Terkait metode efektif ini, tersedianya guru-guru kompeten kemudian menjadi wajib. Dalam teori penanaman karakter,  metode “pembiasaan”, “pengkondisian” dan “modeling”  biasanya akan sangat efektif membentuk dan mengembangkan karakter seseorang.

Karenanya seorang guru harus bisa menciptakan sebuah atmosphere proses belajar mengajar dimana para peserta didik secara terus menerus terbiasa dan terkondisikan dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dan yang tak kalah penting, para peserta didik itu harus bisa melihat “contoh hidup” pelaku nilai-nilai itu di dunia nyata dari para guru mereka di sekolah.

Di sinilah kompetensi kepribadian seorang guru (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Guru) yang menekankan wajibnya seorang pendidik memiliki karakater kuat dalam dirinya itu menjadi penting dan relevan.

Guru yang kompeten diharapkan menjadi guru yang bisa menginspirasi siswa, guru yang bisa berdialog secara edukatif dengan siswa, dan guru yang bisa menemukan teknik-teknik kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi siswa SD.

Dari para guru kreatif ini, diharapkan para peserta didik dapat menjalani proses pembelajaran dalam suasana yang dinamis, bersemangat, dan penuh kegembiraan. Sehingga anak-anak SD itu bisa merasakan proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang memberatkan.

Selain metode yang tepat dan guru yang kompeten, adalah penting kita sadari bahwa keberhasilan proses pendidikan di sekolah tidak akan pernah maksimal jika tidak ditunjang oleh stakeholder lain, seperti orangtua dan masyarakat.

Bahkan, pengaruh orangtua dan lingkungan di luar sekolah bisa jadi lebih besar mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak daripada apa yang mereka peroleh di sekolah. Karenanya, dukungan orangtua dalam pendidikan keluarga dan dukungan masyarakat dimana anak tinggal menjadi sangat penting.

Selama ini yang terputus dari mata rantai pendidikan kita adalah eksistensi keluarga dan masyarakat ini. Dalam banyak kasus, ada kontradiksi antara nilai yang peserta didik pelajari di sekolah dengan yang mereka lihat dan alami di luar sekolah.

Di sekolah mereka diajarkan untuk bertenggang rasa, misalnya, namun di jalanan mereka saksikan para pengemudi yang cendrung mau menang sendiri. Di sekolah mereka belajar tentang sopan santun, di telivisi setiap saat mereka menyaksikan berbagai acara mengumbar aurat atau berbagai filem dengan tema pergaulan bebas.

Di sekolah mereka diajarkan tentang kejujuran, namun di media mereka lihat dan baca parade orang-orang terhormat antrian dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi.

Di sekolah mereka dilarang merokok, tetapi di rumah setiap saat si anak menyaksikan kepulan asap rokok bapaknya. Akan sangat panjang daftar paradoks seperti ini kalau kita akan list di sini.

Dengan demikian, poin saya adalah bahwa kurikulum pendidikan kita (tidak hanya di tingkat SD sebenarnya) memang perlu terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman terkini, namun perubahan kurikulum itu tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pembentukan anak didik kita yang berkarakter kuat, jika tidak dibarengi dan didukung oleh keluarga mereka atau masyarakat di luar sekolah secara umum.

Karenanya, penting dipikirkan bagaimana menyambungkan mata rantai sekolah, dengan keluarga, dan lingkungan yang lebih luas dalam rangka mendidik generasi masa depan kita. Wallahu a’alam.***

Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.
- See more at: http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1378&kat=1#sthash.9guXBW5U.dpuf
Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar
18 Oktober 2012 - 08.32 WIB > Dibaca 760 kali

Click Here
Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-kanak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. (Stanley Kubrick, sutradara  film, 1928-1999)

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melakukan perombakan kurikulum pendidikan dasar.

Perubahan ini akan diuji coba  per Januari 2013, dan diharapkan akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2013/2014.

Sebagaimana disampaikan oleh Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud), pemerintah akan menyederhanakan jumlah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Selama ini pada jenjang SD rata-rata setiap sekolah memiliki 11 mata pelajaran, dan tahun depan akan disederhanakan menjadi sekitar tujuh mata pelajaran. Walaupun masih dalam taraf penggodokan, dikabarkan bahwa di kelas I-III SD, misalnya, telah disepakati hanya akan ada enam pelajaran.

Enam mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pemerintah akan lebih  memperdalam pokok bahasan atau materi pelajaran yang tersisa, karena selama ini dianggap muatan kurikulum itu cendrung dangkal.

Di samping itu pemerintah akan lebih menitikberatkan pengembangan karakter atau sikap (afektif) di tingkat SD, untuk kemudian baru akan memfokuskan pada pengembangan ketrampilan (psikomotor) di tingkat SMP. Sementara di level SMA, fokusnya diharapkan sudah pada pendalaman ilmu pengetahuan (kognitif) (Kompas, 1/10/2012).

Rencana revisi kurikulum ini kedengarannya cukup beralasan.

Di samping karena memang kurikulum pendidikan di negara manapun harus terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan waktu, dan dengan memperhatikan tantangan dan kebutuhan terkini, juga karena memang selama ini kurikulum sekolah kita di ditingkat dasar cendrung terkesan “ambisius”.

Sebagaimana dikatakan Stanley Kubrick pada kutipan di atas bahwa kesalahan fatal kurikulum kita selama ini adalah mencoba mengajarkan segala hal pada kanak-kanak. Sepertinya kita tak cukup sabar membentuk anak-anak usia SD itu untuk bisa “segala hal”.

Sehingga mereka harus dijejali dengan begitu banyak mata pelajaran yang belum tentu mereka butuhkan di usia seperti itu. Walau tidak terlalu relevan, beratnya beban kurikulum anak-anak SD kita bisa terlihat dari beratnya tentengan tas mereka di pagi hari saat berangkat ke sekolah, karena tas mereka dipenuhi oleh berbagai jenis buku tulis dan buku cetak, bahkan untuk anak SD kelas 1 sekalipun.

Sebagai ayah dari dua putri yang sedang dalam usia sekolah dasar, saya bisa melihat dan merasakan beban berat ini setiap hari.

Akibat kurikulum yang padat itu, sadar atau tidak kita barangkali telah “merampas” sebagian hak-hak anak-anak itu untuk menikmati sisi lain dunia mereka sebagai anak yang sedang bertumbuh.

Apalagi jika anak-anak itu dimasukkan orangtuanya ke full day school atau jika anak-anak itu juga harus dejejali berbagai kursus tambahan di sore hari. Maka lengkap sudah beban pelajaran yang harus mereka pikul.

Dampaknya, tidak hanya akan berakibat lelahnya fisik dan otak anak-anak itu, tetapi juga sangat mungkin akan membawa efek lainnya, seperti kemungkinan bahwa anak-anak itu  tumbuh menjadi pribadi yang  a-sosial, tidak peka dengan orang dan lingkungan mereka, karena mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia mereka di sekitar rumah sepulang sekolah.

Pemerintah tentu perlu memberikan penjelasan yang cukup kepada masyarakat terkait peniadaan atau peleburan beberapa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum baru ini. Karena peniadaan mata pelajaran itu akan membawa dampak pada pihak lain, semisal pada guru mata pelajaran yang akan kehilangan bidang ajarnya (baca: kehilangan pekerjaan). Termasuk juga akan berakibat pada institusi yang memproduksi guru – Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).

Penjelasan yang komprehensif dan ilmiah juga harus disampaikan pemerintah jika, misalnya, pemerintah juga melarang pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD pada kurikulum muatan lokal, mengingat Bahasa Inggris terlanjur dipercaya oleh banyak orang di republik ini sebagai bahasa yang sangat penting dikuasi, karenanya pengajarannya sedini mungkin seperti di level SD juga menjadi penting.

Terkait ide untuk fokus pada pendidikan karakter di tingkat SD, menurut saya sangatlah tepat. Banyak pakar pendidikan yang percaya bahwa sesungguhnya anak-anak pada usia SD berada pada usia emas mereka dalam hal penanaman nilai dan karakter.

Ini adalah usia yang sangat efektif untuk mendidik dan membina mentalitas seseorang. Ketika masa-masa ini terlewati, maka penanaman nilai itu akan lebih sulit dilakukan pada usia setelahnya.

Karenanya, 18 nilai/karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti kejujuran, kemandiran, empati, toleran, kerja keras, gemar membaca, bertanggung jawab akan sangat efektif jika ditanam dan dikembangkan dengan baik di usia-usia emas itu.

Tantangannya kemudian adalah apa dan bagaimana metode efektif penyampaian materi pengembangan karakter ini. Selama ini, catatan kritis tentang penerapan kurikulum pendidikan kita di sekolah adalah bahwa proses pendidikan kita cendrung masih fokus pada pengembangan ranah kognitif peserta didik.

Pendekatan pengajaran cendrung masih menggunakan metode lama, dengan menekankan hafalan peserta didik, bahkan untuk pelajaran praktis seperti akhlak dan budi pekerti sekalipun. Betul bahwa ranah afektif telah mulai menjadi perhatian, namun aspek pengetahuan masih sangat dominan, termasuk di bangku SD.

Terkait metode efektif ini, tersedianya guru-guru kompeten kemudian menjadi wajib. Dalam teori penanaman karakter,  metode “pembiasaan”, “pengkondisian” dan “modeling”  biasanya akan sangat efektif membentuk dan mengembangkan karakter seseorang.

Karenanya seorang guru harus bisa menciptakan sebuah atmosphere proses belajar mengajar dimana para peserta didik secara terus menerus terbiasa dan terkondisikan dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dan yang tak kalah penting, para peserta didik itu harus bisa melihat “contoh hidup” pelaku nilai-nilai itu di dunia nyata dari para guru mereka di sekolah.

Di sinilah kompetensi kepribadian seorang guru (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Guru) yang menekankan wajibnya seorang pendidik memiliki karakater kuat dalam dirinya itu menjadi penting dan relevan.

Guru yang kompeten diharapkan menjadi guru yang bisa menginspirasi siswa, guru yang bisa berdialog secara edukatif dengan siswa, dan guru yang bisa menemukan teknik-teknik kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi siswa SD.

Dari para guru kreatif ini, diharapkan para peserta didik dapat menjalani proses pembelajaran dalam suasana yang dinamis, bersemangat, dan penuh kegembiraan. Sehingga anak-anak SD itu bisa merasakan proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang memberatkan.

Selain metode yang tepat dan guru yang kompeten, adalah penting kita sadari bahwa keberhasilan proses pendidikan di sekolah tidak akan pernah maksimal jika tidak ditunjang oleh stakeholder lain, seperti orangtua dan masyarakat.

Bahkan, pengaruh orangtua dan lingkungan di luar sekolah bisa jadi lebih besar mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak daripada apa yang mereka peroleh di sekolah. Karenanya, dukungan orangtua dalam pendidikan keluarga dan dukungan masyarakat dimana anak tinggal menjadi sangat penting.

Selama ini yang terputus dari mata rantai pendidikan kita adalah eksistensi keluarga dan masyarakat ini. Dalam banyak kasus, ada kontradiksi antara nilai yang peserta didik pelajari di sekolah dengan yang mereka lihat dan alami di luar sekolah.

Di sekolah mereka diajarkan untuk bertenggang rasa, misalnya, namun di jalanan mereka saksikan para pengemudi yang cendrung mau menang sendiri. Di sekolah mereka belajar tentang sopan santun, di telivisi setiap saat mereka menyaksikan berbagai acara mengumbar aurat atau berbagai filem dengan tema pergaulan bebas.

Di sekolah mereka diajarkan tentang kejujuran, namun di media mereka lihat dan baca parade orang-orang terhormat antrian dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi.

Di sekolah mereka dilarang merokok, tetapi di rumah setiap saat si anak menyaksikan kepulan asap rokok bapaknya. Akan sangat panjang daftar paradoks seperti ini kalau kita akan list di sini.

Dengan demikian, poin saya adalah bahwa kurikulum pendidikan kita (tidak hanya di tingkat SD sebenarnya) memang perlu terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman terkini, namun perubahan kurikulum itu tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pembentukan anak didik kita yang berkarakter kuat, jika tidak dibarengi dan didukung oleh keluarga mereka atau masyarakat di luar sekolah secara umum.

Karenanya, penting dipikirkan bagaimana menyambungkan mata rantai sekolah, dengan keluarga, dan lingkungan yang lebih luas dalam rangka mendidik generasi masa depan kita. Wallahu a’alam.***

Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.
- See more at: http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1378&kat=1#sthash.9guXBW5U.dpuf
Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar
18 Oktober 2012 - 08.32 WIB > Dibaca 760 kali

Click Here
Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-kanak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. (Stanley Kubrick, sutradara  film, 1928-1999)

Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan berencana melakukan perombakan kurikulum pendidikan dasar.

Perubahan ini akan diuji coba  per Januari 2013, dan diharapkan akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2013/2014.

Sebagaimana disampaikan oleh Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud), pemerintah akan menyederhanakan jumlah mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).

Selama ini pada jenjang SD rata-rata setiap sekolah memiliki 11 mata pelajaran, dan tahun depan akan disederhanakan menjadi sekitar tujuh mata pelajaran. Walaupun masih dalam taraf penggodokan, dikabarkan bahwa di kelas I-III SD, misalnya, telah disepakati hanya akan ada enam pelajaran.

Enam mata pelajaran tersebut adalah Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan.

Pemerintah akan lebih  memperdalam pokok bahasan atau materi pelajaran yang tersisa, karena selama ini dianggap muatan kurikulum itu cendrung dangkal.

Di samping itu pemerintah akan lebih menitikberatkan pengembangan karakter atau sikap (afektif) di tingkat SD, untuk kemudian baru akan memfokuskan pada pengembangan ketrampilan (psikomotor) di tingkat SMP. Sementara di level SMA, fokusnya diharapkan sudah pada pendalaman ilmu pengetahuan (kognitif) (Kompas, 1/10/2012).

Rencana revisi kurikulum ini kedengarannya cukup beralasan.

Di samping karena memang kurikulum pendidikan di negara manapun harus terus-menerus diperbaiki sesuai dengan perkembangan waktu, dan dengan memperhatikan tantangan dan kebutuhan terkini, juga karena memang selama ini kurikulum sekolah kita di ditingkat dasar cendrung terkesan “ambisius”.

Sebagaimana dikatakan Stanley Kubrick pada kutipan di atas bahwa kesalahan fatal kurikulum kita selama ini adalah mencoba mengajarkan segala hal pada kanak-kanak. Sepertinya kita tak cukup sabar membentuk anak-anak usia SD itu untuk bisa “segala hal”.

Sehingga mereka harus dijejali dengan begitu banyak mata pelajaran yang belum tentu mereka butuhkan di usia seperti itu. Walau tidak terlalu relevan, beratnya beban kurikulum anak-anak SD kita bisa terlihat dari beratnya tentengan tas mereka di pagi hari saat berangkat ke sekolah, karena tas mereka dipenuhi oleh berbagai jenis buku tulis dan buku cetak, bahkan untuk anak SD kelas 1 sekalipun.

Sebagai ayah dari dua putri yang sedang dalam usia sekolah dasar, saya bisa melihat dan merasakan beban berat ini setiap hari.

Akibat kurikulum yang padat itu, sadar atau tidak kita barangkali telah “merampas” sebagian hak-hak anak-anak itu untuk menikmati sisi lain dunia mereka sebagai anak yang sedang bertumbuh.

Apalagi jika anak-anak itu dimasukkan orangtuanya ke full day school atau jika anak-anak itu juga harus dejejali berbagai kursus tambahan di sore hari. Maka lengkap sudah beban pelajaran yang harus mereka pikul.

Dampaknya, tidak hanya akan berakibat lelahnya fisik dan otak anak-anak itu, tetapi juga sangat mungkin akan membawa efek lainnya, seperti kemungkinan bahwa anak-anak itu  tumbuh menjadi pribadi yang  a-sosial, tidak peka dengan orang dan lingkungan mereka, karena mereka tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengan teman-teman seusia mereka di sekitar rumah sepulang sekolah.

Pemerintah tentu perlu memberikan penjelasan yang cukup kepada masyarakat terkait peniadaan atau peleburan beberapa mata pelajaran tertentu dalam kurikulum baru ini. Karena peniadaan mata pelajaran itu akan membawa dampak pada pihak lain, semisal pada guru mata pelajaran yang akan kehilangan bidang ajarnya (baca: kehilangan pekerjaan). Termasuk juga akan berakibat pada institusi yang memproduksi guru – Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK).

Penjelasan yang komprehensif dan ilmiah juga harus disampaikan pemerintah jika, misalnya, pemerintah juga melarang pengajaran mata pelajaran Bahasa Inggris di tingkat SD pada kurikulum muatan lokal, mengingat Bahasa Inggris terlanjur dipercaya oleh banyak orang di republik ini sebagai bahasa yang sangat penting dikuasi, karenanya pengajarannya sedini mungkin seperti di level SD juga menjadi penting.

Terkait ide untuk fokus pada pendidikan karakter di tingkat SD, menurut saya sangatlah tepat. Banyak pakar pendidikan yang percaya bahwa sesungguhnya anak-anak pada usia SD berada pada usia emas mereka dalam hal penanaman nilai dan karakter.

Ini adalah usia yang sangat efektif untuk mendidik dan membina mentalitas seseorang. Ketika masa-masa ini terlewati, maka penanaman nilai itu akan lebih sulit dilakukan pada usia setelahnya.

Karenanya, 18 nilai/karakter yang dicanangkan pemerintah dalam kurikulum pendidikan nasional, seperti kejujuran, kemandiran, empati, toleran, kerja keras, gemar membaca, bertanggung jawab akan sangat efektif jika ditanam dan dikembangkan dengan baik di usia-usia emas itu.

Tantangannya kemudian adalah apa dan bagaimana metode efektif penyampaian materi pengembangan karakter ini. Selama ini, catatan kritis tentang penerapan kurikulum pendidikan kita di sekolah adalah bahwa proses pendidikan kita cendrung masih fokus pada pengembangan ranah kognitif peserta didik.

Pendekatan pengajaran cendrung masih menggunakan metode lama, dengan menekankan hafalan peserta didik, bahkan untuk pelajaran praktis seperti akhlak dan budi pekerti sekalipun. Betul bahwa ranah afektif telah mulai menjadi perhatian, namun aspek pengetahuan masih sangat dominan, termasuk di bangku SD.

Terkait metode efektif ini, tersedianya guru-guru kompeten kemudian menjadi wajib. Dalam teori penanaman karakter,  metode “pembiasaan”, “pengkondisian” dan “modeling”  biasanya akan sangat efektif membentuk dan mengembangkan karakter seseorang.

Karenanya seorang guru harus bisa menciptakan sebuah atmosphere proses belajar mengajar dimana para peserta didik secara terus menerus terbiasa dan terkondisikan dengan nilai-nilai karakter yang diajarkan.

Dan yang tak kalah penting, para peserta didik itu harus bisa melihat “contoh hidup” pelaku nilai-nilai itu di dunia nyata dari para guru mereka di sekolah.

Di sinilah kompetensi kepribadian seorang guru (seperti yang diamanatkan Undang-Undang Guru) yang menekankan wajibnya seorang pendidik memiliki karakater kuat dalam dirinya itu menjadi penting dan relevan.

Guru yang kompeten diharapkan menjadi guru yang bisa menginspirasi siswa, guru yang bisa berdialog secara edukatif dengan siswa, dan guru yang bisa menemukan teknik-teknik kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi siswa SD.

Dari para guru kreatif ini, diharapkan para peserta didik dapat menjalani proses pembelajaran dalam suasana yang dinamis, bersemangat, dan penuh kegembiraan. Sehingga anak-anak SD itu bisa merasakan proses belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sebagai beban yang memberatkan.

Selain metode yang tepat dan guru yang kompeten, adalah penting kita sadari bahwa keberhasilan proses pendidikan di sekolah tidak akan pernah maksimal jika tidak ditunjang oleh stakeholder lain, seperti orangtua dan masyarakat.

Bahkan, pengaruh orangtua dan lingkungan di luar sekolah bisa jadi lebih besar mempengaruhi pembentukan karakter seorang anak daripada apa yang mereka peroleh di sekolah. Karenanya, dukungan orangtua dalam pendidikan keluarga dan dukungan masyarakat dimana anak tinggal menjadi sangat penting.

Selama ini yang terputus dari mata rantai pendidikan kita adalah eksistensi keluarga dan masyarakat ini. Dalam banyak kasus, ada kontradiksi antara nilai yang peserta didik pelajari di sekolah dengan yang mereka lihat dan alami di luar sekolah.

Di sekolah mereka diajarkan untuk bertenggang rasa, misalnya, namun di jalanan mereka saksikan para pengemudi yang cendrung mau menang sendiri. Di sekolah mereka belajar tentang sopan santun, di telivisi setiap saat mereka menyaksikan berbagai acara mengumbar aurat atau berbagai filem dengan tema pergaulan bebas.

Di sekolah mereka diajarkan tentang kejujuran, namun di media mereka lihat dan baca parade orang-orang terhormat antrian dipanggil dan diperiksa Komisi Pemberantas Korupsi.

Di sekolah mereka dilarang merokok, tetapi di rumah setiap saat si anak menyaksikan kepulan asap rokok bapaknya. Akan sangat panjang daftar paradoks seperti ini kalau kita akan list di sini.

Dengan demikian, poin saya adalah bahwa kurikulum pendidikan kita (tidak hanya di tingkat SD sebenarnya) memang perlu terus dikaji ulang dan disesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan zaman terkini, namun perubahan kurikulum itu tidak akan banyak pengaruhnya terhadap pembentukan anak didik kita yang berkarakter kuat, jika tidak dibarengi dan didukung oleh keluarga mereka atau masyarakat di luar sekolah secara umum.

Karenanya, penting dipikirkan bagaimana menyambungkan mata rantai sekolah, dengan keluarga, dan lingkungan yang lebih luas dalam rangka mendidik generasi masa depan kita. Wallahu a’alam.***

Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.
- See more at: http://www.riaupos.co/opini.php?act=full&id=1378&kat=1#sthash.9guXBW5U.dpuf