After RSBI is dismissed, what’s next in the agenda?

After RSBI is dismissed, what’s next in the agenda?


By: Afrianto Daud
    (This article was first published in The Jakarta Post, January 19,2013)

The Constitutional Court (MK) again made a historic decision to grant a judicial review of Article 50, paragraph 3 of Law No. 20/2003 on the national education system, which was the legal basis for the establishment of the international-standard school pilot project (RSBI) by the government.

The review was submitted by the Coalition for Anti-Commercialization of Education over a year ago. With this decision, more than 1,300 RSBIs across the country, by law, must be dissolved because they no longer have a legal basis.

This decision has been welcomed by many, especially those who have criticized the existence of the RSBIs. They agreed that the RSBI are not in line with the spirit of the 1945 Constitution and has led to discrimination and social segregation in education. The Court also considered that the use of English as the medium of instruction in the RSBIs could potentially erode national identity.

I agree with the Court’s decision. It is undeniable that the program (intentional or not) has been disriminatory in terms of access to good education. This is because the RSBIs usually pick and select prospective students from certain circles in society (upper-middle class).

It has always been widely considered that the RSBIs have frivolously spent funds from the national education budget. It can be said that the government has wrongly subsidized education for the upper-middle class by spending billions of rupiahs every year on the RSBIs development, thereby ignoring other groups.

A program once considered a “lighthouse project” that many were proud of is now ending with the pounding of the judges’ gavel. Moreover, if we calculate how much of the state budget and public funds has been spent on this program, our sense of sympathy only grows.

For your information, the Research and Development Center of the Education and Culture Ministry said that total revenue for the RSBI block grant funding since 2006-2010 had reached Rp 1.07 trillion (US$108.75 million). This does not include budget support from local government and public donations.

So, what next? After this decision, the government (like it or not) is certainly obliged to obey the Court’s decision. If the government is stubborn and maintains the existence of the RSBIs, as stated by the mayor of Surabaya, Tri Rismaharini, and confirmed by Akil Mukhtar (Court spokesman), it could be considered against the law.

Therefore, all schools with the RSBI status must be returned to regular schools, all levies on behalf of the RSBIs need to be stopped, all forms of school administration, even the name on the school signpost must be replaced.

Education and Culture Minister Mohammad Nuh on several occasions said that he respected the Court’s decision, but that the government did not expect closures to be immediate as school was still in session. Nuh even said that until the end of the school year, the RSBIs were still allowed to collect fees from parents.

However, the Court’s decision was firm and binding and any activities related to the project must be stopped.

There is concern, however, that local governments will just rename the RSBIs — “Sekolah Unggul”, “Sekolah Mandiri” or “Sekolah Model”, for example. If these (public) schools remain discriminatory, expensive, and enforce the use of English as the language of instruction disproportionately, people should, of course, refuse it.

Furthermore, It is important to reemphasize that the Court’s decision does not dissolve the existence of a school itself. What the decision cancels is only the implementation of the RSBI program. Therefore, teaching and learning processes in all former schools have to continue as usual. The spirit to go forward and excel at all schools, however, should be kept, and if possible, improved.

I understand that there will probably a little “cultural shock” after this dissolution among teachers, students, principals, or perhaps in some parents as some of them could have greatly enjoyed all the privileges that the RSBI label gave them over the years.

For the school management, they might be shocked by the fact that they no longer receive the large amount of funding they once did. Some students or parents may also be a little disturbed by the termination, as for them, the RSBI was a symbol of a good life. They were proud to be part of the RSBI as it symbolized that they belonged to a group of people with social and economic advantages.

However, these kinds of shocks should not bring down the spirits of the affected parties. These former RSBIs certainly have a lot of good values and the potential to be further developed. They already have better facilities, a conducive learning culture and possibly cooperate with several international institutions. These could all be used as motivation to excel.

On the other hand, in addition to its responsibility to make sure that these former RSBIs continue to grow and excel, the government is expected to continue programs for improving the quality of education for everyone.

Some good programs in the Education and Culture Ministry that are now running, such as school accreditation, teachers and schools certification, subsidizing the cost of education through the BOS program, and the provision of a physical development block grant, deserve to continue, and certainly by continuously evaluating and improving the system of implementation.

Implementing competitive grants as an alternative solution to improve the quality of schools, after the removal of the RSBIs, is also a good idea. This is of course by taking into account the fact that there are still sharp differences among certain urban schools and schools in rural areas.

Specific requirements or different mechanisms to enable these so-called “marginalized” schools to have the opportunity to win this grant is necessary. I believe that if the programs I mentioned above can be implemented well, evaluated and improved, slowly but surely, our education will get better, without the RSBIs labels.

The writer is a PhD candidate in the School of Education, Monash University, Australia.

Setelah RSBI Bubar, What Next?


Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Republika, 15 Januari 2013)

 

Tak bisa dimungkiri bahwa program Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) telah menciptakan diskriminasi dalam akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas. Ini karena RSBI biasanya memilih dan menyeleksi calon siswa dari kalangan tertentu sejak awal. Program RSBI lebih jauh dinilai sebagai program yang telah menghabiskan anggaran pendidikan nasional secara tidak tepat sasaran.

 
Pembubaran RSBI menjadi tamparan tersendiri bagi pemerintah yang selama ini bertanggung jawab sebagai pelaksana. Betapa tidak, program yang dulu dianggap "proyek mercusuar" dan menjadi kebanggaan untuk sebagian kalangan ini harus berakhir tragis di ketukan palu hakim MK.

 
Pascakeputusan ini, pemerintah suka ataupun tidak suka tentu wajib mematuhi amar keputusan MK. Jika ada pemerintah daerah yang membandel dengan keputusan ini atau masih ingin mempertahankan eksistensi RSBI di daerahya maka Akil Mukhtar (salah seorang hakim dan juru bicara MK) menegaskan bahwa tindakan tersebut bisa dikategorikan melawan hukum.
 

Karenanya, semua sekolah yang berlabel RSBI harus dikembalikan statusnya ke sekolah reguler. Segala pungutan atas nama RSBI harus dihentikan. Segala bentuk administrasi sekolah, bahkan plang nama sekolah yang ada tulisan RSBI-nya pun harus diganti.

 
Mentri Kemendiknas M Nuh dalam beberapa kesempatan menyatakan legowo dan menghormati keputusan MK ini. Pemerintah awalnya berharap bahwa penutupan itu tentu tidak bisa serta-merta dilakukan karena tahun ajaran di sekolah sedang berjalan. M Nuh bahkan mengatakan bahwa sampai akhir tahun ajaran selesai, RSBI masih dibolehkan memungut SPP kepada orang tua murid (Republika, 11/01/2013).

 
Namun, keputusan MK adalah tegas dan mengikat. Dengan sendirinya segala kegiatan yang terkait RSBI harus dihentikan. Oleh karena itu, edaran Kemendiknas(?) terbaru kemudian berubah dan menyatakan melarang semua sekolah berlabel RSBI memungut sumbangan atau SPP pascakeputusan MK ini.

 
Masyarakat mesti ikut mengawal dan mengawasi pelaksanaan amar keputusan MK ini karena ada kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa bisa saja RSBI hanya berganti nama atau label dengan istilah non-RSBI. Beberapa pemerintah daerah bisa saja mengganti label RSBI menjadi sekolah unggulan, sekolah mandiri, atau sekolah model, misalnya. Jika keberadaan sekolah (negeri) ini secara substansi masih mempertahankan prinsip diskriminatif, masyarakat wajib menolak.

 
Sekolah Tak Bubar

 
Tentu harus ditegaskan bahwa keputusan MK bukanlah membubarkan keberadaan sebuah sekolah. Yang dibatalkan MK adalah pelaksanaan program RSBI. Karenanya, segala proses belajar mengajar di semua sekolah RSBI itu harus tetap berjalan sebagaimana biasa.

 
Mungkin akan terjadi sedikit culture shock setelah pembubaran program RSBI ini di kalangan guru, siswa, kepala sekolah, ataupun mungkin pada sebagian orang tua. Keterkejutan seperti itu sangat mungkin terjadi karena sebagian mereka bisa saja sangat menikmati label RSBI. Bagi pihak pengelola sekolah, keterkejutan bisa terjadi karena sekolah tidak bisa lagi menerima kucuran dana yang lumayan besar seperti sebelumnya.
 

Namun, rasa ini tentu tidak boleh men jadi alasan bagi semua pihak di sekolah untuk berhenti berusaha menjadi yang terbaik. Pertama, karena memang sekolah itu sendiri masih ada dan tidak ikut bubar bersama hilangnya program RSBI. Kedua, karena sekolah mantan RSBI itu tentu memiliki banyak nilai lebih dan potensi yang bisa terus dikembangkan. Di lain pihak, selain memperhatikan nasib semua sekolah mantan RSBI ini agar terus berkembang dan berprestasi, pemerintah diharapkan terus mengembangkan program peningkatan kualitas pendidikan yang menyentuh semua kalangan anak bangsa.

 
Beberapa program bagus di Kemendikbud yang sedang berjalan, seperti akreditasi sekolah, sertifikasi guru dan pengawas sekolah, subsidi biaya pendidikan melalui program BOS, dan pemberian block grant pembangunan fisik sekolah, pantas diteruskan, tentu dengan terus dievaluasi dan diperbaiki sistem pelaksanaanya.

 
Pelaksanaan hibah kompetitif yang di wacanakan pemerintah sebagai alternatif solusi perbaikan mutu sekolah pascapenghapusan RSBI juga layak dilanjutkan. Tentu dengan tetap mempertimbangkan fakta perbedaan yang masih tajam dalam banyak hal antara sekolah tertentu di perkotaan dan sekolah di pelosok daerah. Harus dipikirkan pula mekanisme dan persyaratan yang berbeda, bagaimana sekolah-sekolah yang selama ini terpinggirkan juga memiliki peluang untuk memenangkan dana hibah atas kompetisi tersebut.

 
Saya berkeyakinan bahwa jika program yang saya sebut di atas bisa terus kita lakukan dengan baik, dievaluasi, dan diperbaiki kelemahan sistemnya, perlahan tapi pasti, insya Allah dunia pendidikan kita akan semakin baik. Bukankah pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang? Karenanya, mari terus menanam usaha dan kebaikan di dunia pendidikan kita. Insya Allah pendidikan kita akan jaya pada waktunya walau tanpa embel-embel RSBI. Wallahua'lam.

 

Hentikan Kekerasan kepada (oleh) Guru

Oleh: Afrianto Daud

(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 3 Desember 2012)

“Violence, even well intentioned, always rebounds upon oneself”
--Lao Tzu

Membaca berita di harian ini (27/11/2012) tentang kasus penamparan oleh seorang oknum pejabat Dinas Kehutanan Provinsi Riau terhadap seorang guru, sungguh memuat kita miris.

Penamparan itu tidak hanya telah membuat tercabiknya wibawa seorang guru bernama Nurbaiti, namun dalam batas tertentu juga telah melukai kehormatan semua mereka yang berprofesi sebagai guru di republik ini.

Karenanya, apapun alasannya, tindak kekerasan orangtua murid seperti ini memang tidak boleh dibiarkan.

Bisa dipahami kemudian jika ribuan guru kemudian mendatangi kantor kepolisian dan berdemo menuntut pelaku untuk dihukum.

Dari berita yang kita baca di media, pelaku beralasan bahwa dia emosi karena mendapat laporan dari anaknya yang telah ditampar oleh gurunya.

Sementara sang guru membantah telah menampar muridnya, tapi membenarkan telah memegang kepala sang murid untuk menghentikan tingkah-laku sang murid yang dianggap nakal dan telah melampaui batas.

Menariknya kedua belah pihak telah membawa kasus ini ke jalur hukum.

Sang   guru dengan dukungan PGRI dan Dinas Pendidikan telah mengadukan kasus pemukulan ini ke pihak kepolisian, dan pada saat yang sama sang murid,  dengan dukungan keluarganya juga melaporkan ibu Nurbaiti ke pihak kepolisian dengan tuduhan telah melakukan tindak kekerasan kepada dirinya (Riau Pos, 29/11/2012).

Saya tidak dalam posisi membela siapapun, atau menyatakan salah satu pihak pasti salah atau benar. Biarlah para aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan menyelesaikan perkara ini secara hukum.

Namun tulisan ini mencoba menganalisa kasus pemukulan ini dari beberapa sudut pandang, tidak hanya dari sisi bagaimana orangtua seharusnya bersikap terhadap guru, juga bagaimana seharusnya para pendidik bisa mencegah tindak kekerasan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Lain Dulu Lain Sekarang

Mejadi seorang guru di zaman  sekarang memang tak mudah, karena harus berhadapan dengan begitu banyak tantangan.

Tidak hanya tantangan dalam bentuk tuntutan pemerintah dan masyarakat agar seorang guru terus meningkatkan kualitas dan kompetensi mereka, pada saat yang sama seorang guru juga harus menghadapi tantangan berupa tindak-tanduk para murid yang beda jauh dengan perilaku anak didik pada masa lalu.

Sangat mungkin selama proses pembelajaran di level apapun, seorang guru akan menemui para siswa dengan karakter yang kadang tidak mudah untuk diatur (untuk tidak menyebut berperilaku liar dan nakal).

Tidak hanya itu, tuntutan dari orangtua dan cara mereka memperlakukan guru saat ini sedikit banyak juga mengalami perubahan.

Secara umum, profesi guru mungkin masih dihormati, namun cara orangtua menghormati guru dan kadar penghormatan mereka terhadap sosok guru mungkin telah mengalami pergeseran. Kasus penamparan di atas adalah contoh nyata dari pergeseran penghormatan ini.

Dulu, tentu kita masih ingat tatkala kita belajar mengaji di surau atau di musala. Orangtua kita akan mengantar kita kepada sang guru, dan mempercayakan proses belajar kita di sana sepenuhnya kepada sang guru.

Saya sendiri masih ingat di antara persyaratan yang dibawa orangtua saya sebagai “tanda kepercayaan” sepenuhnya kepada guru adalah dengan dibawanya sekerat rotan.

Rotan ini bisa digunakan oleh sang guru kapan saja dia mau,  jika saya sebagai murid telah melanggar batas dan atau aturan yang ditetapkan sang guru.

Tentu sang guru kemudian tidak semena-semena menggunakan rotan itu dalam proses pembelajaran. Dia akan menggunakannya secara proporsional dan dengan alasan yang jelas.

Melecut (hanya) telapak tangan kami, jika kami kedapatan dan terbukti menyabung ayam, misalnya. Namun, dengan suasana penuh kedisiplinan dan cendrung “keras” itulah hampir semua kami pandai mengaji.

Suasana belajar seperti itulah yang barangkali telah membentuk mentalitas kami untuk hormat kepada sang guru ngaji itu sampai hari ini.

Seiring perkembangan dan tuntutan zaman, pendidikan “ala rotan” itu tentu tidak sepenuhnya bisa diterapkan hari ini. Menggunakan rotan dan sejenisnya dalam proses pendidikan tidak hanya berpotensi disebut sebagai tindak kekerasan kepada murid, tetapi juga bisa berujung di meja pengadilan. Karena atas nama UU Perlindungan Anak, tindak kekerasan fisik kepada siswa bisa berujung pada delik pidana.

Namun, poin penting yang perlu dipertahankan dari “filosofi rotan” itu adalah bahwa tindakan tegas dalam bentuk hukuman adalah satu proses yang tidak bisa dilepaskan dari proses pembelajaran.

Seorang murid harus dididik bahwa dalam hidup itu selalu ada risiko dari setiap tindakan yang kita lakukan. Berbuat baik akan memperoleh ganjaran yang baik (reward), sebaliknya berperilaku tak baik juga akan menuai hukuman (punishment). Karenanya, sekali lagi, tindakan tegas (walau tidak harus dimaknai dengan tindakan kekerasan fisik)  itu perlu dalam dunia pendidikan.

Poin penting lainnya dari “filosopi rotan” itu adalah perlu adanya kepercayaan timbal balik antara guru dan orangtua dalam proses mendidik anak-anak mereka.

Orangtua percaya sepenuhnya bahwa apapun yang dilakukan guru terhadap anaknya adalah untuk kebaikan pendidikan anaknya. Sebaliknya, sang gurupun akan bersikap bijak dalam memperlakukan siswa, sebagai bentuk usaha si guru mengemban amanah dari orangtua.

Dalam konteks kasus pemukulan terhadap guru kemaren, kepercayaan timbal balik inilah sesungguhnya yang telah hilang.

Tegas Yes, Kekerasan No

Sekali lagi, tindakan tegas dalam proses pendidikan itu perlu. Bukankah Rasulullah SAW sendiri mengajarkan agar kita menyuruh anak kita untuk salat pada umur lima tahun, dan membolehkan kita untuk “memukul” mereka jika mereka tidak mau mengerjakan salat pada usia tujun tahun.

Memukul di sini tentu tidak bisa secara sederhana diartikan dengan kebolehan memukul mereka secara fisik, tanpa batasan. Saya lebih memahami substansinya dengan perlunya ketegasan berupa “pukulan edukatif”.

Pukulan yang mendidik itu bisa berupa hukuman non-fisik yang berpotensi membawa efek jera. Seorang kenalan saya, misalnya, tidak memberi belanja harian kepada anaknya karena sang anak melanggar kesepakatan akan aturan yang telah disepakati sebelumnya. Ini dia berlakukan berhari-hari sampai sang anak sadar akan kesalahannya.

Saya pernah meminta seorang murid berdiri ke depan, dan menyuruh yang bersangkutan berbicara, menggantikan saya menerangkan pelajaran di kelas, karena yang bersangkutan berbicara saat saya menerangkan pelajaran.

Guru ditantang untuk terus berpikir mencara cara non-kekerasan seperti ini saat menghadapi anak murid yang “nakal”. Karena, seperti kata Lou Tzu yang saya kutip di awal tulisan ini bahwa kekerasan, walaupun diniatkan untuk kebaikan, seringkali berakibat buruk pada pelakunya sendiri.

Kemudian, juga penting diingat oleh para pendidik bahwa tindakan berupa hukuman tidak harus menjadi alternatif utama untuk merespon “kenakalan siswa”.

Dari pengalaman saya, pendekatan dari hati ke hati secara personal terhadap siswa yang dianggap bermasalah seringkali efektif dalam mengurangi atau bahkan menghentian “kenakalannya”.

Karenanya, daripada mencubit tangannya, atau memegang kepalanya saat kita marah, memeluk (hati) mereka, merangkul mereka, mendengarkan masalah mereka secara empatik, akan sangat membantu kita menyelesaikan permasalahan mereka.***
RSBI, Masihkah Kita Perlukan?

RSBI, Masihkah Kita Perlukan?

Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 15 November 2012 
11.13 WIB > Dibaca 346 kali


Keberadaan sekolah berlabel Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) di tanah air sepertinya akan memasuki babak baru.

Saat ini publik sedang menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai tindak lanjut permohonan uji materi dari Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan terhadap pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selama ini dijadikan dasar hukum bagi pemerintah untuk menyelenggarakan RSBI.

Permohonan itu sendiri sudah hampir setahun, karenanya Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali mendesak MK untuk membuat keputusan secepatnya agar kontroversi terkait RSBI menemukan kepastian hukumnya (Kompas, 31/10/2012).

Kalau MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi ini, maka eksistensi 1.100 an RSBI di seluruh negeri terancam bubar, karena kehilangan dasar yuridis.

Pemerintah sendiri sudah siap dengan apapun keputusan MK ini. Wakil Kemendiknas, Professor Musliar Kasim, bahkan mengatakan bahwa kalaupun nanti MK mengabulkan permohonan uji materi itu, pemerintah akan tetap meneruskan pola pendidikan dengan sistem RSBI, walau dengan nama berbeda.

Pemerintah masih berkeyakinan bahwa sesungguhnya pola pendidikan semisal RSBI masih diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional (Riau Pos, 5/11/2012)

RSBI dan Kualitas Pendidikan
Semangat pendirian RSBI pada awalnya barangkali terkait dengan keinginan kuat bangsa ini untuk mengejar ketertinggalan kita dengan bangsa lain dalam hal kualitas sumber daya manusia.

Ada banyak laporan dari beberapa lembaga dunia yang menyebut negeri kita sebagai negeri dengan kualitas sumber daya manusia sangat rendah.

Sebagai bangsa kita ingin duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan bangsa maju lainnnya di dunia. Kita ingin keluar dari kelompok negara berkembang (baca: negara miskin dan tertinggal) yang sudah sangat lama disematkan kepada kita, dan entry point pentingnya adalah dengan terus menerus meningkatkan kualitas pendidikan kita.

Kemunculan RSBI kemudian diharapkan bisa menghasilkan lulusan (anak bangsa) yang berkelas  dan atau berkualitas nasional dan internasional sekaligus.

Namun dalam lebih tujuh tahun perkembangannya, program RSBI ini sepertinya belum banyak menunjukkan keberhasilan sebagaimana semangat awalnya.

Salah satu kesimpulan dalam disertasi Mudjito Ak (2009) terkait evaluasi kebijakan pendidikan nasional tentang penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) untuk pendidikan dasar dan menengah (Dikdasmen) menegaskan bahwa sekolah bertaraf internasional untuk pendidikan dasar dan menengah pada kenyataannya belum memberikan pengaruh yang berarti baik bagi peningkatan mutu pendidikan maupuan kemajuan pendidikan nasional.

Walaupun ada yang menolak “tuduhan kegagalan” RSBI ini dengan mengatakan bahwa mayoritas siswa lulusan RSBI biasanya memperoleh nilai di atas rata-rata pada Ujian Nasional atau banyak siswa alumni RSBI yang diterima di PTN.

Menjadikan ini sebagai indikator keberhasilan RSBI jelas sangat tidak cukup dan terkesan sangat menyederhanakan masalah.

Penilaian seperti ini tidak hanya berpotensi bias, karena mayoritas siswa SBI memang sudah menjadi “siswa pilihan” sejak awal sebelum mereka masuk RSBI, juga karena hal yang sama juga bisa dilakukan oleh sekolah nasional lainnya yang tidak berlabel RSBI. Terus kemudian apa bedanya sekolah dengan label RSBI dan non-RSBI?

Beberapa Potensi Masalah
Di antara alasan utama kelompok yang menolak dan atau menggugat keberadaan RSBI adalah karena pola pendidikan seperti RSBI telah menciptakan diskriminasi antar warga masyarakat dalam akses mereka terhadap pendidikan yang berkualitas. Ini karena RSBI biasanya memilih dan menseleksi calon siswa dari kalangan tertentu sejak awal.

Biasanya yang diterima di sekolah jenis ini adalah mereka yang berasal dari kalangan menengah ke atas dan dengan kemampuan akademik di atas rata-rata. Dengan kata lain, mereka yang dengan kemampuan akademik rata-rata atau yang berasal dari keluarga miskin sangat kecil kemungkinan bisa menikmati proses pendidikan di lingkungan RSBI ini.

Sebagian masyarakat menilai bahwa proses pendidikan seperti ini adalah diskriminatif dan bertentangan dengan nilai dasar pendidikan yang tidak boleh membeda-bedakan perlakukan terhadap warga berdasarkan latar belakang sosio, ekonomi, dan kapasitas kognisi mereka.

Walaupun pemerintah telah mengatakan bahwa RSBI sebetulnya bisa diakses oleh anak-anak miskin juga selama memiliki prestasi akademis yang baik, namun adalah fakta bahwa kebanyakan siswa yang masuk ke sekolah RSBI adalah mereka dengan kategori “pintar” dan dari keluarga kaya.

Ada beberapa biaya yang tidak sedikit yang harus dibayar oleh anak didik yang bersekolah di RSBI.  Karena besarnya biaya ini, di lapangan bahkan RSBI dipelesetkan masyarakat menjadi “Rintisan Sekolah Bertarif Internasional”.

Bahwa pendidikan berkualitas itu butuh biaya dan bisa jadi mahal adalah benar. Masalahnya adalah jika biaya itu dibebankan kepada masyarakat. Inilah yan menjadi pokok masalah.

Lebih jauh, kondisi seperti ini tentu berpotensi memperlebar gap si kaya dan si miskin, atau yang pintar dan yang “bodoh” (saya sengaja menggunakan tanda kutip, karena tidak tega menggunakan istilah ini untuk menyebut anak didik yang “kurang pintar”).

Selain definisi dan kriteria pintar itu sendiri sebenarnya kompleks, bukankah relasi antara “miskin” dan “bodoh” adalah dua hal yang saling mempengaruhi.

Potensi diskriminasi sistem sekolah seperti RSBI itu dengan sendirinya akan melanggengkan gap kaya-miskin, pintar-bodoh itu. Lebih jauh, besarnya biaya mereka yang bersekolah di RSBI ini tentu juga kontradiktif dengan semangat yang sedang dibangun pemerintah sendiri dalam penyelenggaran sistem pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana diamanatkan pasal 31 UUD 1945.

Masalah lain dari RSBI adalah biasnya definisi dan filosopi penyelenggaran RSBI sejak awal. Definisi umum yang diberikan pemerintah tentang (R)SBI adalah bahwa (R)SBI merupakan sebuah sekolah dengan kurikulum nasional plus.

Namun panduan (R)SBI yang dikeluarkan pemerintah tidak memberikan deskripsi yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan konsep “plus” ini.

Ketidakjelasan ini kemudian membuat banyak pemerintah daerah dan sekolah bebas mendefinisikan sendiri RSBI sesuai dengan  tafsir dan pemahaman mereka.

Walaupun ada sekolah yang menafsir bahwa SBI/RSBI adalah sekolah dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diajarkan dalam bahasa Inggris, dan mengadopsi kurikulum International General Certificate for Secondary Education (IGCSE)-Cambridge, namun beberapa pengelola SBI/RSBI memahaminya dengan konsep sangat terbatas. SBI/RSBI ditafsir sebagai sekolah yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar proses pembelajaran, sekolah dengan fasilitas dengan ruang kelas berpendingin ruangan, sekolah dimana guru lebih banyak menggunakan laptop dan LCD projector saat menerangkan pelajaran, atau bahkan ada yang memahami bahwa SBI/RSBI seperti bus malam kelas eksekutif, sebuah sekolah dengan kamar kecil/toilet di setiap ruang kelas (Rizali, 2008).

Kendala teknis, seperti ketersediaan para guru mata pelajaran dengan penguasaan bahasa Inggris yang baik, adalah masalah lainnya.  Surya Dharma PhD, Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas dulu juga mengakui bahwa dari 260 kepala sekolah RSBI pada tahun 2010 yang diberikan tes kemampuan bahasa Inggris, TOEIC, menurut Surya Dharma, hanya 10% yang memiliki kemampuan memadai, sedangkan sisanya, 90% kemampuannya hanya mencapai skor 245, artinya masih di bawah tingkat dasar (elementary).

Data lain, hasil ujian IELTS guru yang akan diproyeksikan dapat mengajar pada kelas rintisan internasional menunjukkan keadaan yang serupa. Dari sekitar 40 peserta, kurang dari 20% yang mampu memperoleh skor IELTS antara 4,0-4,5, sedangkan sisanya hanya memperoleh skor antara 2,5-3,7.

Padahal seorang guru diizinkan mengajar program internasional harus memiliki skor minimal 6,5 pada IELTS (atau skor 550 pada TOEFL).

Hasil penilaian terhadap kompetensi akademis dan kemampuan pedagogis guru pengajar menunjukkan keadaan hampir sama, memprihatinkan.***

Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, mahasiswa PhD di Monash University Australia
Menimbang Pengajaran Bahasa Inggris di SD

Menimbang Pengajaran Bahasa Inggris di SD

 Oleh: Afrianto Daud
(Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh harian Riau Pos, 1 November 2012)
 08.52 WIB > Dibaca 842 kali



“Tak ada elemen terluhur yang dimiliki suatu bangsa selain bahasa.” (Ernst Moritz Arndt)

Melanjutkan tulisan saya di harian ini dua pekan lalu (18/10/2012) berjudul “Menunggu Perubahan Kurikulum Sekolah Dasar”,   saya berpendapat bahwa saya mendukung rencana pemerintah untuk melakukan perombakan dan atau revisi kurikulum Sekolah Dasar (SD)  dengan beberapa alasan dan pertimbangan yang telah saya sebutkan pada artikel itu.

Namun dalam tulisan tersebut saya menggarisbawahi tentang pentingnya pemerintah memberikan penjelasan yang komprehensif dan ilmiah kepada masyarakat terkait dengan wacana penghapusan pengajaran bahasa Inggris di tingkat SD sebagai bagian dari perombakan kurikulum.

Penjelasan seperti ini penting, selain karena kemampuan berbahasa Inggris sudah dianggap sebagai satu ketampilan penting oleh kebanyakan kita sebagai bangsa Indonesia, juga karena keputusan peniadaan itu, disadari atau tidak, akan ikut menentukan arah masa depan generasi kita.

Wacana peniadaan pengajaran bahasa Inggris di tingkat SD ini pertama kali disampaikan oleh Wakil Menteri Kemendikbud, Professor Musliar Kasim, di awal-awal bulan Oktober 2012.

Pemerintah berpendapat bahwa kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar adalah lebih prioritas diajarkan kepada anak usia SD daripada kemampuan berbahasa asing.

Ide peniadaan ini kontan mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada banyak pengguna soscial media seperti Facebook dan atau Twitter yang menanggapi sinis lontaran wakil mentri ini.

Mayoritas besar mereka berpendapat bahwa gagasan seperti ini merupakan langkah mundur bagi dunia pendidikan kita, mengingat kemampuan berbahasa Inggris telah menjadi mutlak dimiliki oleh generasi muda Indonesia untuk bisa bergaul dan bersaing di kancah global dalam bidang apapun.

Mengacu pada dokumen resmi standar isi kurikulum nasional untuk tingkat SD, sebenarnya mata pelajaran bahasa Inggris bukanlah salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di tingkat SD.

Bahasa Inggris barulah secara resmi diajarkan sebagai mata pelajaran wajib di tingkat SMP. Namun, selama ini banyak sekolah yang telah mulai mengajarkannya di tingkat SD dengan menjadikannya salah satu bidang studi di kurikulum muatan lokal.

Dengan demikian, peniadaan yang dimaksud pemerintah itu adalah penghapusan bahasa Inggris sebagai salah satu subjek dalam kurikulum muatan lokal tersebut.

Kalau wacana ini kemudian menjadi keputusan, maka mulai Januari 2013, mata pelajaran bahasa Inggris kemudian akan lenyap dalam muatan kurikulum SD (negeri).

Bahasa, Identitas, dan Linguistic Imprealism

Mendiskusikan wacana pemerintah ini, adagium lama namun masih relevan untuk kita ingat dalam konteks ini adalah bahasa menunjukkan bangsa.

Ungkapan ini berarti bahwa ada kaitan yang sangat erat antara suatu bahasa dengan jati diri seseorang sebagai entitas sebuah bangsa.

Bahwa bahasa adalah identitas yang membedakan sebuah bangsa dengan yang lainnya. Bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, namun juga menjadi alat perekat yang mempersatukan sebuah komunitas.

Karena peran strategis bahasa inilah dulu para founding father negara ini berusaha dan berjuang memastikan agar semua kelompok etnis di Nusantara bisa berbahasa yang satu, yaitu bahasa Indonesia.

Barangkali inilah alasan utama pemerintah mewacanakan peniadaan pelajaran bahasa Inggris di tingkat SD, agar anak didik kita bisa lebih fokus mendalami bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Pemerintah barangkali setuju dengan ungkapan Ernst Moritz Arndt yang saya kutip di awal tulisan ini. Bahwa tak ada elemen paling luhur dari sebuah bangsa, kecuali bahasa.

Penguasaan yang baik terhadap bahasa Indonesia diharapkan bisa menjadi salah satu entry point tumbuhnya rasa nasionalisme mereka.

Lebih jauh, dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, mereka diharapkan bisa mengenal lebih jauh kekayaan khazanah budaya Nusantara.

Di lain sisi, sangat mungkin bahwa pemerintah merasa khawatir akan terancamnya identitas generasi muda Indonesia akibat derasnya arus bahasa asing ke generasi muda kita saat ini.

Globalisasi informasi di satu sisi membuka berjuta peluang untuk maju, namun pada saat yang sama dia juga membawa ancaman.

Pemerintah barangkali sedang berusaha mengelola ancaman serangan budaya asing ini dengan penguatan karakter bangsa melalui penguatan pengajaran bahasa nasional.

Apalagi kalau kita melihat dari kacamata “politik bahasa”, bahwa diakui atau tidak bahasa Inggris saat ini memang menjadi bahasa yang hegemonik. Phillipson (1992) menyebut fenomena ini sebagai linguistic imprealism (penjajahan linguitik).

Philipson mengkritisi hegemoni budaya asing yang masuk melalui “penjajahan model baru” melalui bahasa, sebagaimana fenemena hegemoni bahasa Inggris di banyak negara berkembang, seperti halnya Indonesia.

Akibatnya, kita cendrung menempatkan kemampuan berbahasa Inggris adalah “segalanya”, bahkan mungkin melebihi kesadaran kita tentang pentingnya kita menguasai bahasa sendiri.

Alam bawah sadar kita barangkali ikut mengatakan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang keren, mereka yang menguasainya adalah orang-orang yang keren.

Akibatnya, kita akan melakukan “apa saja” untuk bisa dianggap masuk dalam kelompok  “orang-orang keren” itu. Di titik ini, menurut Phillipson, kita sudah “terjajah” secara linguistik.

Masa Emas Belajar Bahasa
Terlepas dari urusan nasionalisme di atas, pemerintah perlu kembali menyadari bahwa adalah fakta bahwa kemampaan berbahasa asing yang baik adalah penting bagi generasi muda kita agar bisa menjadi salah seorang warga dunia, dan bisa mengambil peran strategis di dalamnya untuk kepentingan diri sendiri ataupun untuk kepentinan bangsa. Kemudian, adalah juga fakta bahwa tingkat rata-rata kemampuan berbahasa asing kita masih sangat rendah.

English Proficiency Index (EPI) yang dirilis oleh lembaga English First (EF) pada tahun 2011, misalnya, menempatkan Indonesia di ranking 34 dari 44 negara non-berbahasa Inggris yang mereka survei berdasarkan nilai tes bahasa Inggris online dari lebih 2 juta orang dewasa selama 3 tahun terakhir.

Dengan demikian, kita berharap bahwa pengajaran bahasa Inggris di Indonesia di masa depan bisa lebih baik, karena rendahnya kemampuan berbahasa asing kita selama ini tentu tidak bisa dipisahkan dari “kegagalan sekolah” dalam mengajarkan bahasa Inggris ini. Karenanya, sistem pengajaran bahasa Inggris di sekolah juga perlu mereformasi diri.

Sampai di sini kemudian, perlu kita ketahui bahwa dalam teori pemerolehan bahasa, anak-anak SD yang berusia antara 6-12 tahun itu berada pada masa emas mereka belajar bahasa, selain bahasa ibu.

Kondisi otaknya masih plastis dan lentur sehingga penyerapan bahasa lebih mudah. Menurut tokoh psikososial Erikson, kemampuan berbahasa anak pada fase ini lebih berkembang dengan cara berpikir konsep operasional konkret.

Riset teknologi brain imaging di University of California, Los Angeles, menunjukkan bahwa pada rentang usia anak SD ini, kemampuan mereka dalam proses kognitif, kreativitas, dan divergent thinking berada pada kondisi optimal sehingga secara biologis menjadi waktu yang tepat untuk mempelajari bahasa asing.

Penelitian lain (Kormi dan Nouri, 2008) juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa anak-anak yang mempelajari lebih dari satu bahasa memiliki kemampuan lebih dalam tugas memori episodic, mempelajari kalimat dan kata, dan memori semantic, kelancaran menyampaikan pesan dan mengkategorikannya.

Dua penelitian ini menunjukkan bahwa bilingualisme tidak akan mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa pun.

Sejauh ini, belum ada bukti ilmiah bahwa bahasa pertama akan bermasalah jika mempelajari bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya sebab fase anak-anak tengah memiliki fleksibilitas kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep.

Dengan demikian, anak-anak ini mampu memahami bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman terhadap bahasa ibunya.

Oleh karena itu, anak-anak SD secara biologis berada dalam masa emas untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa Indonesia.

Epilog

Mengacu pada alasan di atas, sepertinya pemerintah akan menghadapi dilema jika wacana penghapusan itu benar-benar dilaksanakan.

Di satu sisi, pemerintah ingin memperkuat bahasa nasional dan membangun jati diri generasi muda Indonesia melalui bahasa Indonesia yang baik, namun di sisi lain, penghapusan itu dengan sendirinya akan menghilangkan kesempatan bagi anak-anak usia SD untuk bisa menguasai bahasa Inggris di usia emas mereka.

Lebih jauh kebijakan ini bisa berakibat pada (tetap) lemahnya daya saing generasi muda kita di kancah internasional, karena keterbatasan kemampuan bahasa asing mereka.

Saya berpendapat bahwa akan lebih bijak pemerintah tetap membuka peluang setiap sekolah dasar untuk mengajarkan bidang studi bahasa Inggris dalam kurikulum muatan lokal mereka. Namun, tentu dengan catatan bahwa sekolah juga harus memiliki program yang serius dan terukur untuk mengajarkan budaya nasional melalui pengajaran Bahasa Indonesia.

Yang tak kalah pentingnya adalah, setiap sekolah yang mengajarkan bahasa Inggris harus memastikan bahwa metode pengajaran bahasa Inggris harus disampaikan dengan cara-cara yang susuai dengan perkembangan psikologi anak SD, bukan dengan metode konvensional, seperti Grammar Translation Method (GTM) yang cendrung tidak cocok untuk anak seusia mereka dan pasti akan menambah beban mereka.

Pelatihan bagi guru tentang metode, teknik, strategi megajar yang cocok untuk anak-anak  SD juga penting dan mendesak dilakukan. Wallahua’alam.***

 Afrianto, Dosen FKIP Universitas Riau, Mahasiswa PhD Monash University Australia.